Oleh Andhika Wahyudiono*
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Climate Central menunjukkan, sebanyak 10,4 juta jiwa di Indonesia menghadapi ancaman kehilangan tempat tinggal akibat banjir pesisir yang terjadi setiap tahun pada tahun 2030 sebagai dampak dari krisis iklim. Proyeksi tersebut menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dengan estimasi meningkat hingga 61% atau mencapai 16,8 juta jiwa pada tahun 2100.
Globalmente, laporan terbaru dari Climate Central dengan judul “Ringkasan Penelitian: Perluasan Zona Risiko Kenaikan Air Laut” menyimpulkan, bahwa dalam abad ini, risiko banjir pesisir tahunan akan meluas ke wilayah daratan yang dihuni oleh sekitar 93 juta orang. Penyebab utama dari fenomena ini adalah perubahan iklim yang mengakibatkan kenaikan suhu global, mencairnya gletser dan lapisan es yang kemudian mengalir ke lautan, sehingga menyebabkan peningkatan permukaan air laut. Dampaknya adalah hilangnya sebagian besar dataran tinggi di sepanjang garis pantai dunia, dan ketika air laut naik, wilayah yang dahulu aman dari bahaya banjir pesisir, sekarang terancam oleh risiko tersebut.
Laporan terbaru dari Climate Central memaparkan perluasan zona risiko kenaikan air laut berdasarkan skenario emisi yang bervariasi dari IPCC terbaru. Data ini kemudian diterapkan pada data populasi untuk menentukan jumlah orang yang tinggal di wilayah yang berisiko mengalami banjir pesisir akibat naiknya permukaan air laut.
Tingkat ketelitian data ketinggian ini didasarkan pada pembaruan besar-besaran pada bulan Maret 2024 untuk CoastalDEM, yaitu model elevasi digital yang dikembangkan oleh Climate Central menggunakan kecerdasan buatan (AI). CoastalDEM diakui sebagai kumpulan data global dengan tingkat kesalahan terendah untuk ketinggian lahan pesisir, yang dievaluasi berdasarkan data kebenaran global.
Ancaman yang diprediksi oleh Climate Central menyoroti tantangan yang semakin besar yang dihadapi oleh pemerintah di seluruh dunia dalam beberapa tahun ke depan. Keputusan politik yang diambil sekarang akan sangat memengaruhi perlindungan masyarakat dan harta benda mereka di masa depan, terutama ketika populasi yang terkena dampak masih relatif kecil dan tersebar di daerah-daerah terpencil.
Oleh karena itu, kebijakan yang tepat dan proaktif harus diterapkan jauh sebelum terjadi kerugian yang besar akibat naiknya permukaan air laut. Banjir pesisir akan menjadi lebih sering terjadi dan mencapai wilayah yang lebih luas dan lebih tinggi di daratan, sehingga meningkatkan dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi lokal.
Pada tahun 2022, laporan dari Indonesia Cerah bersama Koaksi Indonesia menyoroti dampak ekonomi yang diakibatkan oleh kenaikan permukaan air laut. Jika kenaikan permukaan air laut di Indonesia mencapai 47cm, kerugian ekonomi diperkirakan mencapai US$ 3,3 miliar per tahun. Kerugian tersebut disebabkan oleh banjir pesisir yang sering terjadi, hilangnya lahan, salinisasi lahan pertanian yang sebelumnya produktif, dan migrasi penduduk dari daerah-daerah yang terkena dampak.
Dalam menghadapi tantangan ini, langkah-langkah pencegahan dan adaptasi menjadi sangat penting. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah proaktif dalam membangun infrastruktur yang tahan terhadap banjir pesisir, melindungi ekosistem pesisir yang rentan, dan mengembangkan rencana mitigasi yang komprehensif. Selain itu, edukasi publik tentang risiko dan dampak kenaikan permukaan air laut juga sangat penting agar masyarakat dapat lebih siap menghadapi perubahan yang akan terjadi di masa depan.
Perkiraan dampak kenaikan permukaan air laut terhadap Indonesia menunjukkan, bahwa angka tersebut diprediksi akan terus bertambah sejalan dengan peningkatan permukaan air laut. Saat ketinggian air laut mencapai 1,12 meter, proyeksi kerugian ekonomi yang akan dirasakan oleh Indonesia diperkirakan mencapai US$ 7,2 miliar. Sementara itu, ketika ketinggian air laut mencapai 1,75 meter, diperkirakan kerugian ekonomi Indonesia akan mencapai angka sebesar US$ 10,3 miliar. Hal ini menandakan adanya potensi dampak yang signifikan terhadap negara ini.
Indonesia tidaklah sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Negara-negara lain yang juga memiliki jumlah penduduk padat diproyeksikan akan mengalami peningkatan risiko banjir pesisir yang signifikan menjelang akhir abad ini. Cina, Jepang, India, Bangladesh, Vietnam, dan Thailand adalah beberapa negara yang terdampak. Selain Indonesia, semua negara tersebut diprediksi akan mengalami banjir pesisir setiap tahun pada tahun 2100.
Studi yang dilakukan oleh Climate Central menyoroti potensi dampak besar yang akan dialami oleh Cina. Sebanyak 52,5 juta penduduk Cina diperkirakan akan kehilangan rumah dan lahan mereka akibat banjir pesisir pada tahun 2030. Angka ini diperkirakan akan meningkat sebesar 56% pada tahun 2100, dengan 81,7 juta jiwa di Cina berisiko terdampak banjir pesisir. Sementara itu, Jepang juga menghadapi ancaman serupa dengan 7,9 juta jiwa yang terancam kehilangan rumah dan lahan pada tahun 2030, meningkat menjadi 12,7 juta jiwa pada tahun 2100.
India juga diproyeksikan akan mengalami dampak serius dari banjir pesisir. Sebanyak 15,7 juta jiwa diperkirakan akan kehilangan rumah dan lahan pada tahun 2030, dengan peningkatan hingga 55% menjadi 24,2 juta jiwa pada tahun 2100. Sementara itu, Bangladesh diproyeksikan akan mengalami peningkatan yang signifikan dalam jumlah penduduk yang terkena dampak, dengan 20,4 juta jiwa yang terancam pada tahun 2030, meningkat menjadi 30,4 juta jiwa pada tahun 2100.
Vietnam dan Thailand juga tidak luput dari ancaman banjir pesisir. Vietnam diperkirakan akan kehilangan rumah dan lahan sebanyak 18,3 juta jiwa pada tahun 2030, meningkat menjadi 25,6 juta jiwa pada tahun 2100. Sementara itu, Thailand diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 10% dalam jumlah penduduk yang terkena dampak, dari 16,1 juta jiwa pada tahun 2030 menjadi 17,7 juta jiwa pada tahun 2100.
Dengan demikian, risiko banjir pesisir menjadi perhatian serius bagi negara-negara dengan populasi padat di Asia, dengan potensi kerugian ekonomi yang besar dan dampak sosial yang signifikan. Langkah-langkah mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan ini, baik dalam skala nasional maupun internasional.
*) Andhika Wahyudiono, Dosen UNTAG Banyuwangi.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.