Oleh Royhan Faradis
Fenomena kenaikan harga menjelang dan selama bulan Ramadan sering dianggap sebagai keniscayaan. Masyarakat kerap mengasumsikan, bahwa inflasi akan selalu mengiringi momen ini. Namun, realitasnya tidak semudah itu. Dalam ilmu ekonomi mikro dipahami, bahwa kenaikan harga terjadi ketika keseimbangan antara produksi dan konsumsi tidak tercapai.
Secara sederhana inflasi muncul ketika permintaan melebihi produksi yang tersedia. Contohnya, menjelang lebaran, permintaan daging merah meningkat pesat, menyebabkan lonjakan harga. Tradisi menyajikan daging merah menjadi hal yang tak terpisahkan dari suasana lebaran. Namun, apakah ini semua hanya masalah permintaan dan penawaran semata? Tidak selalu!
Pemerintah seharusnya mengambil langkah mitigasi untuk mengatasi hal ini. Produsen dan pedagang juga tidak mungkin sengaja menahan pasokan barang favorit hanya untuk dilepas saat momen tertentu. Sebagian besar bahan baku akan menjadi tidak layak konsumsi (karena rusak) jika ditahan terlalu lama. Oleh karena itu, memahami kompleksitas di balik kenaikan harga saat Ramadan dan lebaran memerlukan pandangan yang lebih cermat dan pemahaman akan dinamika pasar yang sesungguhnya.
Menurut penulis, inflasi yang terjadi menjelang setiap hari besar nasional seolah telah direncanakan dengan matang. Fenomena ini tidak lagi hanya berkutat pada level mikro, melainkan telah melibatkan aspek makro dari kebijakan moneter dan fiskal yang diselaraskan dengan tepat pada saat-saat yang tepat.
Terkadang inflasi menjadi keharusan dalam beberapa kasus, tetapi momen spesifik kenaikan harga tersebut tidak selalu dapat diprediksi oleh pemangku kebijakan. Ketika pemerintah mengurangi subsidi secara tiba-tiba dan menyebabkan lonjakan harga kebutuhan pokok, reaksi spontan masyarakat sering berujung pada protes dan aksi demonstrasi, mengancam stabilitas sosial dan politik.
Hal ini menjadi situasi yang tidak diinginkan oleh pemerintah. Maka dari itu, momen-momen seperti hari besar nasional menjadi kesempatan yang digunakan untuk menaikkan harga-harga, karena pada saat itu masyarakat cenderung lebih bersedia membeli dengan harga yang tinggi tanpa melakukan penolakan.
Tahukah Anda mengapa masyarakat relatif pasif terhadap kenaikan harga tersebut? Jawabannya terletak pada pengaruh motif emosional dalam pengambilan keputusan pembelian pada saat-saat tertentu. Motif emosional, yang dipengaruhi oleh perasaan dan kenangan, mendorong konsumen untuk membeli barang meskipun dengan harga yang tinggi.
Pada saat-saat seperti hari besar nasional, keputusan untuk membeli lebih dipengaruhi oleh motif emosional daripada motif rasional. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Sciffman dan Kanuk (2000) dalam bukunya yang berjudul Consumer Behavior, yang menyatakan, bahwa motif emosional mendominasi dalam pengambilan keputusan pembelian pada saat harga diri, status, dan rasa takut terlibat.
Saat Ramadan dan lebaran, ketiga faktor tersebut menjadi sangat sensitif, terutama karena adanya interaksi sosial yang intensif dan keinginan untuk menjaga citra diri di hadapan keluarga dan teman. Masyarakat cenderung lebih takut terhadap reputasi buruk daripada kerugian finansial akibat memenuhi kebutuhan dengan harga yang tinggi, sehingga keputusan pembelian didorong lebih oleh faktor emosional daripada pertimbangan rasional.
Pada saat-saat seperti itu, pemerintah bisa memanfaatkan situasi dengan hati-hati untuk perlahan-lahan menaikkan harga-harga barang yang sebelumnya masih di-subsidi. Di situasi yang serupa, pemerintah mulai menerapkan kebijakan fiskal.
Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), di awal bulan Ramadan, harga telur ayam ras naik tajam. Pada 17 Maret 2024, rata-rata harga telur ayam ras di seluruh Indonesia mencapai Rp 31.900 per kilogram, naik sebesar 10,5 persen dari bulan sebelumnya. Selain telur, harga bahan makanan lainnya seperti cabai rawit merah, bawang putih bonggol, dan daging ayam ras juga naik cukup tinggi. Harga cabai rawit merah misalnya, naik 6,57 persen dari bulan sebelumnya, harga bawang putih bonggol naik 6,02 persen, dan harga daging ayam ras naik 5,07 persen. Akibatnya, inflasi Maret 2024 mencapai 3,05 persen, lebih tinggi dari bulan Februari yang sebesar 2,75 persen.
Di sisi lain, pemerintah juga menggunakan kebijakan moneter untuk mengontrol jumlah uang yang beredar dan mencegah inflasi. Bank Indonesia (BI) juga meluncurkan program Semarak Rupiah Ramadan dan Berkah Idul Fitri (Serambi) 2024. Dalam program ini, masyarakat hanya diizinkan menukar uang tunai baru dengan batas maksimum Rp4 juta per hari. Hal ini bertujuan untuk memastikan pembagian uang yang adil dan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Skema yang tertuang dalam ilustrasi sebelumnya bukan hanya sekali, melainkan telah berulang dari tahun ke tahun dengan nama yang berbeda. Yang pasti, setelah harga naik, jarang sekali terjadi penurunan harga. Hal ini mirip dengan prinsip uji ombak; jika terjadi goncangan pada stabilitas sosial dan politik, barulah pemerintah mulai mempertimbangkan kembali kebijakannya. Namun, jika keadaan terasa aman, pemerintah cenderung melepaskan sebagian dari beban pengeluarannya dengan mengurangi subsidi.
Kenaikan harga tidak hanya semata-mata menjadi tradisi, bisa jadi itu hanyalah sebuah mitos. Masyarakat perlu mendapatkan tambahan edukasi dan mulai menyadari, bahwa inflasi tidak selalu terjadi secara alami, tetapi sebagian juga direncanakan dengan cermat. Akhirnya, penulis menyarankan untuk selalu bijak dalam melakukan pembelian dengan mempertimbangkan baik motif rasional maupun emosional dalam setiap pengambilan keputusan. {*}
*) Royhan Faradis, Statistisi BPS Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.