Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Kebijakan pemerintah merekrut guru melalui program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sejak 2021 lalu mulai bikin gaduh dunia pendidikan. Bahkan, kebijakan yang dihajatkan untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah (baca: sekolah negeri) ini terbukti memakan banyak korban.
Korban atas kebijakan ini adalah para pengelola lembaga pendidikan swasta. Di antaranya, lembaga pendidikan yang dibidani atau berafiliasi dengan persyarikatan Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Taman Siswa, dan Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT). Demikian juga sekolah-sekolah di bawah naungan perguruan Kristen dan Katolik, serta sejumlah yayasan swasta lainnya, menerima dampak serupa.
Lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut mulai merasa gerah, lantaran sebagian gurunya memilih migrasi ke sekolah plat merah (negeri) setelah lolos seleksi guru PPPK. Sebagian mereka adalah guru-guru terbaik, setelah bertahun-tahun digembleng lewat program pembinaan yang intensif. Bahkan, di antara mereka ada beberapa kepala sekolah yang sudah barang tentu merupakan kader-kader terbaik di sekolah masing-masing.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, misalnya, secara nasional sedikitnya 3.000 gurunya eksodus karena dinyatakan lolos seleksi guru PPPK. Dari jumlah itu, lebih dari 300 guru berasal dari sekolah Muhammadiyah di Jawa Timur (Jatim). Karena itu wajar kiranya, Majelis Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) yang menaungi sekolah-sekolah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim mbengok atas masalah yang menimpanya.
Seperti diungkap Prof Dr Biyanto, MAg, Wakil Ketua PWM Jatim yang membidangi pendidikan. Saat ini tidak kurang 300 guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah di Jatim telah migrasi ke sekolah negeri, karena mereka lolos seleksi PPPK. Jumlah itu diperkirakan terus bergerak dan bertambah. Sebab, target pemerintah adalah merekrut guru PPPK sebanyak 1 juta orang, sementara saat ini baru terpenuhi sekitar 250 ribu orang yang lolos seleksi.
Muhammadiyah, kata Prof Biyanto, menyikapi serius fenomena migrasi guru PPPK ini. Sebab, jika tidak diantisipasi, sekolah-sekolah Muhammadiyah –juga sekolah swasta lainnya—bisa paceklik guru yang bisa diandalkan untuk pengembangan pendidikan. Karena itu, dalam waktu dekat PWM Jatim mengumpulkan para pimpinan Majelis Dikdasmen dan kepala sekolah se-Jatim di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) untuk membahas dan merumuskan solusi ideal (RadarJatim.id, 23 Januari 2022).
Rekrutmen Guru PPPK
Tentang rekrutmen guru lewat program PPPK ini, sebenarnya pemerintah telah membuka kesempatan bagi para guru honorer, termasuk guru tenaga honorer kategori 2 (eks-THK-2), untuk mendaftar dan mengikuti ujian seleksi sejak 2021. Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Rekrutmen dilakukan, karena dari total kebutuhan guru di sekolah-sekolah negeri, –berdasar Dapodik– saat ini baru terpenuhi 60 persen. Nah, kekurangan itu lalu coba dipenuhi melalui program PPPK. Sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), bahwa pegawai ASN terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Adapun guru PPPK adalah guru bukan PNS yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu untuk melaksanakan tugas mengajar.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, mengklaim, bahwa pembukaan seleksi untuk menjadi guru PPPK merupakan wujud hadirnya negara. Negara hadir untuk menyediakan kesempatan yang adil bagi guru-guru honorer yang berkompeten agar mereka mendapatkan penghasilan yang layak.
Adapun dasar hukum yang bisa dijadikan pijakan, setidaknya terdapat 5 produk kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah. Kelimanya adalah:
- UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
- PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja;
- Perpres No. 38 Tahun 2020 tentang Jenis Jabatan yang Dapat Diisi Oleh PPPK;
- Perpres No. 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK; dan
- Peraturan BKN No.1 Tahun 2019 tentang Petunjuk Tekhnis Pengadaan PPPK.
Sementara untuk mengeksekusi program tersebut, setidaknya ada lima terobosan mekanisme seleksi guru PPPK yang telah disiapkan oleh pemerintah. Pertama, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya dengan formasi terbatas, jumlah guru PPPK yang direkrut kali ini mencapai 1 juta guru. Tahun-tahun sebelumnya, banyak guru honorer harus menunggu dan antre untuk membuktikan diri sebagai guru. Di tahun 2021, menurut Mendikbud Nadiem Anwar Makaeim, semua guru honorer dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) bisa mendaftar dan mengikuti seleksi PPPK. Namun dipastikan, hanya yang lulus seleksilah yang bisa masuk dalam gerbong PPPK.
Kedua, jika sebelumnya setiap pendaftar hanya diberikan kesempatan satu kali ujian seleksi per tahun, sekarang setiap pendaftar dapat mengikuti ujian seleksi sampai tiga kali. Artinya, jika gagal pada kesempatan pertama, dapat belajar dan mengulang ujian hingga dua kali lagi di tahun yang sama atau tahun berikutnya.
Ketiga, sebelumnya tidak ada materi persiapan bagi pendaftar. Karena itu, kini Kemendikbudristek ingin memastikan guru-guru hororer mendapat kesempatan yang adil. Materi belajar daring dapat diperoleh semua peserta untuk membantu mempersiapkan diri menghadapi ujian.
Keempat, jika sebelumnya pemerintah daerah harus menyiapkan anggaran gaji peserta, mulai tahun 2021 pemerintah pusat memastikan tersedianya anggaran bagi gaji semua peserta yang lulus seleksi guru PPPK. Ini diperkuat penjelasan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Katanya, pemerintah telah mempersiapkan anggaran untuk gaji guru PPPK dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut dialokasikan dari APBN dan akan dilakukan mekanisme transfer umum ke APBD. Karena itu, pemerintah daerah dapat mengajukan kebutuhan guru PPPK di daerah masing-masing.
Sedangkan terobosan mekanisme seleksi guru PPPK yang kelima, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni biaya penyelenggaraan ujian ditanggung pemerintah daerah. Kini biaya tersebut menjadi tanggung jawab penuh pemerinyah pusat, melalui Kemendikbudristek. Nah, kian jelas, bukan?
Sampai di sini, konsep program rekrutmen melalui skema PPPK sebenarnya tidak ada masalah dan cukup ideal untuk dieksekusi di lapangan. Masalah justru muncul ketika guru yang direkrut itu ternyata selama ini mengajar atau mengabdikan diri di sekolah-sekolah swasta. Ya, karena tuntutan hidup, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang bersifat ekonomis, mereka harus mengadu peruntungan dengan mengikuti ujian seleksi guru PPPK.
Itu terjadi karena dari aspek finansial, sebagian besar guru di sekolah-sekolah swasta, gajinya masih relatif minim. Sementara lembaga pengelola pendidikan atau sekolah swasta itu belum mampu menggaji guru-gurunya sebagaimana diharapkan. Pertimbangan mereka, dengan mengikuti seleksi guru PPPK, ada perbaikan ekonomi dari gaji yang akan mereka terima dari pemerintah.
Pengabdian vs Tuntutan Ekonomi
Hengkangnya ribuan guru swasta ke sekolah negeri setelah lolos seleksi PPPK merupakan fenomena yang layak diseriusi dalam perspektif pengembangan pendidikan di tanah air. Pasalnya, jika terlambat mengantisipasi, bisa jadi sekolah yang selama ini menghimpun banyak guru muda dan berprestasi, akan kekurangan guru. Pada gilirannya proses pembelajaran pun akan terganggu. Kalau sudah terganggu, maka dampak turunannya adalah kualitas pendidikan yang berujung out put pembelajaran juga ikut teregerus, menurun.
Ini baru dari perspektif pengelola lembaga pendidikan, yang di dalamnya banyak berhimpun guru dengan rasio –terhadap jumlah siswa– sudah dirancang sebelumnya. Dalam konteks ini, komitmen, loyalitas, dan pengabdian guru kepada lembaga diuji dan perlu mendapat tempat tersendiri. Apalagi jika lembaga pendidikan atau sekolah itu berbasis organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan, tentu nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan) sebagai insan beragama akan menjadi pertimbangan dalam menjalani profesi mendidik dan mencerdaskan anak bangsa ini.
Lembaga pendidikan tentu akan kelimpungan ketika di antara guru-gurunya, banyak yang memilih pindah ke sekolah negeri melalui jalur seleksi PPPK. Apalagi jika guru-guru yang migrasi itu, termasuk figur andalan yang berpotensi menjadi magnet bagi sekolah. Selain terbentur terbatasnya pasokan guru dengan kualitas dan kapasitas yang dibutuhkan, sekolah tentu harus menyiapkan anggaran tambahan.
Sementara dari sudut pandang guru, benturan pengabdian dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup merupakan pertarungan dua kutub yang cukup ekstrem. Keduanya meminta pemenuhan optimal dan akan menjadi masalah rumit jika salah satunya terabaikan.
Masalahnya, tidak semua sekolah memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk menopang pembiayaan operasional, termasuk dalam mengalokasikan anggaran untuk gaji guru secara memadai. Karena itu, dari aspek kemanusiaan, pilihan mengikuti seleksi PPPK bagi guru yang ekonominya masih jauh dari cukup, merupakan pilihan realistis. Sementara pemenuhan kuota atau kebutuhan guru bagi sekolah –begitu guru-gurunya banyak terekrut dalam program PPPK—berdampak pada kelangsungan pengelolaan sekolah.
Sekali lagi, di sinilah pertarungan idealisme sebagai guru yang harus mengabdi kepada lembaga sekolah yang menaunginya dengan tuntutan rasional akan kebutuhan hidup sehari-hari, dipertaruhkan. Tentu, pilihan idealnya adalah bagaimana bisa mengakomodasi dua kutub kepentingan ini. Tetapi, jika tidak bisa, paling tidak bagaimana nilai-nilai ideal sebagai guru bisa dijalankan tanpa mengabaikan (secara bertahap) upaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Konstruksi Solusi
Mencermati dua kutub kepentingan antara lembaga pengelola sekolah dan guru yang juga dituntut bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, maka sudah selayaknya ditumbuhkan sikap bijak untuk mengakomodasinya. Pemerintah sebagai pihak yang tengah menjalankan program PPPK yang merekrut guru yang sebagian sudah menjadi bagian dari sekolah swasta, kiranya tidak perlu kaku dalam mendistribusikan guru hasil rekrutmen melalui skema PPPK.
Maksudnya, meski secara normatif program tersebut dihajatkan untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah-sekolah negeri yang kini baru terpenuhi 60 persen, secara bertahap mau berbagi. Artinya, sebagian guru hasil seleksi PPPK dikembalikan atau ditugaskan ke sekolah asal, sambil terus melakukan rekrutmen hingga kebutuhan ideal akan guru di sekolah-sekolah negeri terpenuhi.
Di sisi lain, secara bertahap pula, sekolah yang sebagian gurunya lolos seleksi program PPPK bisa menyiapkan guru baru dan masih mendapat pasokan guru yang oleh pemerintah ditugaskan ke sekolah asalnya. Jadi, semacam guru yang diperbantukan (Dpk) dengan gaji tetap ditanggung pemerintah.
Hal lain yang perlu dilakukan lembaga pengelola sekolah adalah mencari alternatif sumber pendanaan, baik untuk keperluan operasional sekolah, termasuk yang dialokasikan untuk gaji guru, maupun untuk kepentingan penunjang pengelolaan sekolah, semisal untuk kebutuhan sarana/prasarana sekolah.
Alternatif sumber pendanaan itu, di antaranya didapatkan dari aktivitas usaha atau bisnis yang bisa dilakukan oleh lembaga pengelola sekolah atau yayasan yang menaunginya. Teknisnya, bisa membentuk badan usaha, misalnya koperasi atau badan usaha lainnya. Skema kerja sama bisnis juga bisa dilakukan antara pihak pengelola sekolah atau yayasan dengan pihak ketiga yang dijadikan mitra bisnis.
Selain itu, bisa mencari dana abadi dari donatur yang memungkinkan bisa membantu. Cara lainnya, bisa “merayu” perusahaan-perusahaan yang sudah mapan untuk menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR)-nya ke sekolah. Tentu, ini butuh kreativitas dan keuletan untuk merealisasikannya.
Jika itu bisa dilakukan, ketimpangan pendanaan sekolah yang umumnya masih bertumpu dan bersumber pada peserta didik atau wali murid dalam bentuk SPP, uang gedung, atau jenis pemasukan lainnya, bisa diatasi. Salah satu alokasi anggaran yang mesti mendapat perhatian adalah meminimalkan kesenjangan pendapatan guru berstatus tidak tetap, sehingga mereka tetap kerasan dan tidak tergoda untuk mengikuti seleksi program PPPK atau model rekrutmen pegawai lainnya.
Ya, begitulah. Aspek ekonomi yang mewujud dalam tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, meski tak selamanya menjadi satu-satunya yang akan menggerus idealisme guru, tetapi potensi untuk itu selalu terbuka. Di sinilah perlu sikap bijak para pihak, baik pemerintah, lembaga pengelola sekolah, dan masyarakat pengguna jasa sekolah atau pemangku kepentingan (stake holder) lainnya.
Pada akhirnya, impian tatanan dunia pendidikan yang ideal dan bisa mengakomodasi kepentingan para pihak yang berkelindan di dalamnya, tidak hanya mengendap hanya sebagai mimpi, tetapi bisa terealisasi secara merata dan berkeadilan di negeri ini. (*)