GRESIK (RadarJatim.id) — Kejayaan Desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik, Jawa timur yang berjuluk Desa Miliarder karena PADes (pendapatan asli desa) yang besar dari sektor pariwisata, terancam tinggal kenangan. Hal ini menyusul demo ratusan warga desa tersebut yang “menggugat” pengelolaan dua kawasan wisata yang sempat melambungkan kebesaran desa itu hingga ke tingkat internasional.
Dua kawasan wisata di Desa Sekapuk, yakni Wisata Setigi dan Kebun Pak Inggih terbukti telah memberikan kontribusi besar secara ekonomis dan mengangkat nama besarnya, tidak hanya di skala regional dan nasional, tetapi bahkan menerobos ke tingkat internasional. Spirit desa berdaya telah menjadikan lahan tandus di desa tersebut berubah menjadi kawasan wisata yang banyak memberikan inspirasi sejumlah daerah di Indonesia untuk mengadopsi manajemen pengelolaannya.
Namun, gerakan warga yang justru mempermasalahkan pengelolaan dua kawasan wisata itu, sejak Jumat (29/12/2023) malam diperkirakan menjadi gerbang redupnya kembali Desa Milarder tersebut. Puncak kemarahan warga ditandai dengan penggempuran patung-patung ikonik di kawasan wisata itu yang identik dengan sosok inspiratif Abdul Halim, mantan kepala desa (Kades) Sekapuk yang dijuluki Ki Begawan Setigi, Sabtu (30/12/2023).
Aksi warga ini merupakan buntut dari aksi protes sebelumnya pada Jumat (29/12/2023) malam, di Balai Desa Sekapuk atas mosi tidak percaya terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa Sekapuk periode tahun 2017–2023 yang dipimpin Kades Abdul Halim.
Dalam tuntutan yang dibacakan oleh perwakilan aksi, Dul Rofik, warga menyoroti soal mekanisme perekrutan tenaga kerja di lingkungan desa, transparansi keuangan PKKKhus Dapur Mbok Inggih, hak inisiator HAKI kawasan Wisata berupa saham senilai Rp 364,8 juta dan penetapan gaji penasihat atau komisaris BUMDes sebesar Rp 19,5 juta per bulan.
Tidak hanya itu saja, warga juga mempertanyakan transparansi dalam pembangunan Kawasan Wisata Setigi dan Kebun Pak Inggih (KPI), tanggungan pemilik stan yang mencapai Rp 40 juta.
“Warga menuntut penyehatan BUMDes agar bisa bertahan, penghapusan saham yang bentuknya bukan berupa uang tunai atau yang berupa abab itu. Perhitungan ulang APBDes sesuai dengan AD/ART dan segala konsekuensinya dan pembubaran lembaga PDDM (Pusat Diklat Desa Miliarder, Red),” ujar Dul Rofik berapi-api.
Dikonfirmasi seputar aksi demo warga yang sampai berujung pada penggempuran atau penghancuran patung-patung ikonik kawasan wisata tersebut, Abdul Halim yang baru beberapa pekan mengakhiri masa jabatannya sebagai Kades tidak banyak mempermasalahkan. Sebab, sejak masa jabatannya sebagai Kades berakhir, ia menyerahkan pengelolaan kawasan wisata yang dirintisnya kepada Pemerintah Desa Sekapuk.
“Saya dan teman-teman eks pengelola atau pemilik saham juga tidak diundang saat aksi Jumat malam itu untuk memberikan penjelasan. Saya cuma standby di rumah. Kalau datang nanti dikira memprovoksi,” ujar Halim, Sabtu (30/12/2023) petang.
Ia berharap, branding untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata tersebut tetap dilakukan oleh pengelola baru. Meski branding Desa Miliarder pada akhirnya tidak digunakan lagi, ia berharap tetap dimunculkan konsep branding baru demi pengembangan desa wisata yang telah banyak dijadikan studi banding sejumlah daerah di Indonesia.
“Ya, apalah namanya terserah. Dari aspek pemasaran, hendaknya tak bosan-bosannya terus melakukan branding dan sosialisasi informasi yang mengedukasi publik, dengan terus melakukan inovasi yang ter-update,” pungkasnya. (sto)