SIDOARJO (RadarJatim.id) — Semarak penyelenggaraan Kampung Ramadan 2022 yang diselenggarakan di Alun-alun Sidoarjo menyimpan satu sisi kehidupan yang menarik. Tepat di depan gapura masuk acara, terdapat seorang pedagang mainan tradisional yang ikut serta memeriahkan bazar Kampung Ramadan ini, Rabu (13/4/2022).
Adalah Suparmin, pria kelahiran Gunung Kidul, Yogyakarta yang sudah 12 tahun mengadu nasib untuk menjajakan mainan tradisional dari bambu. Tak ada keluhan. Tak ada penyesalan. Bahkan, yang nampak adalah guratan kebanggaan ikut melestarikan salah satu produk tradisional yang secara kasat mata nyaris tersingkir dari gempuran maraknya mainan modern, termasuk yang membanjir dari pasar impor.
Suparmin menjelaskan, ada beberapa item dagangan yang tiap hari ia jajakan sekaligus sebagai sarana penyambung hidupnya. Semuanya dari bahan dasar bambu. Di antaranya adalah gasing bambu, pajangan kluntung, suitan/suara burung, ethek-ethek, seruling, hiasan dinding bambu, dan berbagai pernak-pernik lainnya.
Sehari-hari dagangan tersebut dijajakan di sekitar Alun-alun Sidoarjo. Suparmin juga menuturkan, profesi sebagai pedagang mainan tradisional itu telah dilakoni dari generasi ke generasi.

Ketika ditemui di sekitar lokasi acara, Rabu (13/4/2022), Suparmin mengaku, seharian itu baru dua buah dagangannya yang terjual, “Baru dua yang terjual. Sudah dapat Rp 25 ribu hari ini. Kalau untuk makan, minum, dan beli rokok ya masih belum cukup, apalagi saya harus mengirim uang ke desa. Tapi, saya terus bersyukur karena yakin Gusti Allah pasti mencukupi,” ujarnya.
Suparmin juga menjelaskan, sepinya penjualan selama masa pandemi Covid-19 tidak hanya ia alami. Teman-temannya juga pedagang mainan dengan berbagai jenisnya, juga mengalami hal serupa,
“Ya, selama pandemi memang berat. Mungkin pascapandemi saat ini jkondisi bisa berangsur membaik meski pelan-pelan,” tuturnya.
Suparmin menambahkan, sekalipun menghadapi gempuran zaman dengan masuknya beragam mainan moderan dan produk impor, mainan tradisional tetap punya tempat tersendiri di hati masyarakat. Meski ia menyadari secara alami, peran mainan tradisional kian terpinggirkan.
“Kalaupun anaknya tidak suka mainan tradisional, masih ada orang tuanya yang mungkin sekadar bernostalgia, atau memang suka,” katanya mantab.
Suparmin menambahkan, saking fanatiknya sebagian orang terhadap mainan tradisional, bahkan ada yang sampai menyusulnya ke Surabaya ketika ia mencoba peruntungannya di kota Pahlawan itu.
“Saya kadang juga heran dengan orang-orang itu,. Saya jualan di Surabaya pun tetap dicari hanya karena ingin membeli dagangan saya, padahal jarak dari sini ke sana tidak dekat dan juga pasti membutuhkan biaya untuk bensinnya,” tandas Suparmin. (M12/M13)