(Catatan Ringan Terlibat dalam FGD Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya)
Oleh SUHARTOKO
Sepanjang perjalanan menuju GrennSA Inn –hotel milik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya– di Jalan Raya Juanda, Sidoarjo, pikiran saya menerobos ke mana-mana. Saya berupaya menemukan ide, atau minimal secuil pemikiran, yang bisa saya sampaikan sebagai sumbangsih pada hajatan FGD (Focus Group Discussion). Namun, berkilo-kilo meter dalam perjalanan itu, saya belum menemukannya.
Saya sempat nervous, khawatir hanya pasif dan tak mampu memberikan kontribusi apa-apa dalam FGD, sebelum akhirnya mampu menenangkan diri. Saya mengambil sikap tenang, berusaha tetap woles (rileks), dan meyakinkan diri, bahwa pada saatnya pasti menemukan apa yang saya cari dan kontribusikan dalam forum yang menurut saya sangat berharga itu.
Ya, saat itu, Kamis, 4 Agustus 2022, saya mendapat undangan sebagai peserta FGD yang diselenggarakan oleh Fakultas Adab dan Humaniora (Fahum) UIN Sunan Ampel Surabaya. Lokasinya di GrennSA Inn di Jalan Raya Juanda, cukup dekat dengan Bandara Internasional Juanda. Bagi saya, ini forum serius yang mestinya bakal menguras pemikiran serius pula. Sebab, tema yang diangkat cukup akademis, sesuatu yang jauh dari sentuhan aktivitas keseharian saya.
FGD yang dibuka Dekan Fahum Dr H Mohammad Kurjum, Mag itu sejatinya berlangsung 2 hari, yakni Kamis-Jumat (4-5 Agustus 2022). Namun, saya cukup mengikuti hari pertama, sesuai dengan undangan panitia. Saya hadir dalam kapasitas sebagai pimpinan PT Radar Jatim Multimedia, stake holder UIN Sunan Ampel Surabaya, yang diproyeksikan sebagai pengguna lulusan kampus tersebut. Kebetulan, saat ini kami juga terjalin kerja sama dengan kampus itu, yang di antaranya berupa penempatan dan pendampingan terhadap belasan mahasiswa magang jurnalistik.
Narasumber yang dihadirkan dalam FGD cukup berbobot dari aspek keilmuan. Ada Prof Dr Moh. Ainin, MPd, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Juga ada Dr Layli Hamida, SS, MHum dan Dr Listiyono Santoso,SS, M.Hum. Keduanya dari Fakultas Sastra dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Selain itu, FGD juga “mengimpor” Dr Intan Zanariah Zakariah dari Malaysia sebagai narasumber. Sementara FGD bertajuk Review Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) itu mengambil tema “Globalize The Curriculum to Widen Networking”.
Peserta FGD terbagi dalam 3 kelompok yang merepresentasikan program studi (Prodi) yang dibawahkan oleh Fahum UIN Sunan Ampel Surabaya. Ketiganya adalah Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Prodi Sastra Inggris, dan Prodi Sastra Indonesia. Saya sendiri masuk dalam kelompok Prodi Sastra Indonesia. Lumayan masih nyambung, karena setidaknya saya adalah alumni Jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia IKIP Surabaya yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Prosesi pembukaan FGD digelar di hall hotel yang cukup luas. Perkiraan saya, ruang yang sudah tertata rapi itu mampu menampung lebih dari 500 orang. Namun, panitia sepertinya men-setting kursi peserta dalam ruang itu agak berjarak. Maklum, “hantu” pandemi Covid-19 belum benar-benar sirna dari negeri ini, sehingga aturan main protokol kesehatan masih diterapkan.
Seusai prosesi seriomi pembukaan oleh Dekan Fahum dan sesi coffee break, peserta pun menyebar sesuai kelompok yang telah dibagi oleh panitia. Saya berada dalam kelompok Prodi Sastra Indonesia (Sasindo) bersama salah seorang pendiri Prodi Sasindo, Siti Rumilah, MPd; Kaprodi Sasindo, Haris Shofiudin, MFil-I dan Sekprodi Sasindo Rizki Endi Septiyani, SHum, MA dan beberapa dosen Sasindo seperti Drs Nur Mufid, MA, serta Prof Dr H Mas’an Hamid, MPd. Beberapa perwakilan mahasiswa juga tergabung dalam kelompok kami.
Sesi Diskusi dan Sharing
Dalam kelompok ini, saya benar-benar menjadi satu-satunya peserta FGD yang tidak berlatar belakang akademis. Celakanya, eh menariknya, forum diskusi yang dipandu salah satu dosen dan pendiri Prodi Sasindo di UIN Sunan Ampel Surabaya, Siti Rumilah itu, justru memberikan kesempatan pertama kepada saya untuk menyampaikan pandangan, gagasan, masukan, dan sejenisnya. Saya sempat “protes” dan menawar agar kesempatan terlebih dahulu diberikan kepada sang Guru Besar Prof Mas’an Hamid. Namun, “pemegang otoritas” diskusi menampik dengan dalih, semua peserta akan kebagian untuk menyampaikan pandangan dan masukannya.
“Monggo, mboten menopo. Njenengan dulu sebagai stake holder yang nanti memanfaatkan lulusan kami,” bujuk sang pemandu diskusi yang alumni Sastra Indonesia Unesa ini.
Saya pun menyerah lalu menerima mikrofon yang disodorkan panitia. Satu-dua detik saya sempat ngeblank dan berpikir untuk mencari ide yang akan saya sampaikan. Jurus improvisasi pun saya terapkan. Dengan polos saya sampaikan kepada forum diskusi ini. Dengan tulus juga saya sampaikan permohonan maaf jika yang saya sampaikan nanti jauh dari kajian akademis.
Beruntung, saya terselamatkan oleh casting yang diminta panitia, bahwa keterlibatan saya dalam FGD ini dalam kapasita sebagai stake holder yang kelak bisa memanfaatkan atau menjadi pengguna lulusan kampus ini. Saya pun mulai percaya diri.
“Mohon maaf, sejak lulus kuliah tahun 1990, ilmu Bahasa dan Sastra saya nyaris tidak ter-update. Jadi, saya mungkin tidak bisa memberikan masukan apa-apa dalam perspektif keilmuan. Namun, apa yang saya sampaikan nanti lebih banyak terkait dengan ‘dunia persilatan’ saya di komunikasi, khususnya genre jurnalistik. Saya berharap, dari yang amat sedikit ini, kelak memberikan manfaat bagi kemajuan dan pengembangan Prodi Sasindo di kampus ini,” ujar saya.
Mendengar “pidato” pembukaan saya itu, sang moderator langsung menyahut, “Ya, itu yang kami tunggu. Kami nantinya jadi tahu apa yang mesti dibenahi setelah mendapat masukan dari Njenengan,” ujar Siti Rumilah yang diamini Kaprodi Sasindo, Haris Shofiudin.
Meski dalam satu-dua detik sempat ngeblank, saya kembali bisa menguasai diri. Apalagi setelah mendapat lampu hijau dari moderator dan Kaprodi Sasindo. Suasana menjadi cair dan siskusi pun berlangsung gayeng. Dengan pede (percaya diri) saya memosisikan diri sejajar dengan para peserta diskusi lainnya, termasuk dengan sang guru besar yang ada dalam kelompok kami.
Saya pun lalu menyampaikan beberapa catatan evaluatif sekaligus masukan bagi pengembangan Sasindo ke depan. Saya katakan, UIN Sunan Ampel Surabaya dan perguruan tinggi lainnya di Indonesia perlu meminimalkan ketimpangan antara kompetensi produk lulusan kampus dengan dunia kerja yang akan dimasuki. Ini saya saya sampaikan, berdasar pengalaman mendampingi puluhan mahasiswa yang melakukan penelitian untuk penyusunan skripsi dan magang kerja, betapa masih terdapat kesenjangan yang cukup lebar.
Ini yang membuat sebagian lulusan perguruan tinggi, yang meski di kampus memiliki prestasi akademik yang moncer, justru merasa gagap dan kikuk ketika memasuki dunia kerja. Apa yang mereka terima di kampus, tak sepenuhnya paralel dengan dunia kerja. Akibatnya, mereka perlu adaptasi dengan terus mengasah dan mengembangkan kemampuan sesuai kebutuhan di lapangan.
“Saya tidak menjustifikasi, bahwa ilmu-ilmu yang didapat dari kampus oleh adik-adik mahasiswa itu tidak penting atau tidak perlu. Semuanya perlu. Tetapi, kampus juga mesti paham apa yang sesungguhnya dibutuhkan di dunia kerja. Ini terkait dengan penyusunanan kurikulum tentunya, yang sejak awal mendesain arah pendidikan mau dibawa ke mana,” ujar saya memberikan masukan.
Pada bagian akhir pandangan saya, saya singgung perlunya meleburkan dikotomi keilmuan di kampus versus tuntutan aplikatif di lapangan atau dunia kerja. Maksudnya, bagaimana menyelaraskan arah kebijakan pendidikan di perguruan tinggi dengan pemenuhan kebutuhan lapangan pekerjaan yang akan dimasuki lulusan kampus.
Sudah waktunya, kampus membebaskan mahasiswa dari hegemoni teori dan menafikan kemampuan terapan. Sebaliknya, tambahlah dosis aplikatif sebagai bekal memperkuat kompetensi out put atau lulusan. Di antaranya, menambah bobot magang dengan memperpanjang durasinya, menambah porsi undangan terhadap dosen tamu dari para praktisi yang berkompetensi di bidang masing-masing. Satu lagi yang saya sampaikan, diharapkan UIN yang lama distigmakan lekat dengan misi agama Islam, menjadikan para lulusannya sebagai agen dan pengembang dakwah bagi masyarakat.
“Biar ada bedanya UIN dengan kampus-kampus lain. Ini nilai plus jika bisa direalisasikan,” kata saya meyakinkan.
Kalau saja hal-hal teknis-aplikatif itu bisa dilakukan, sesunggunya itulah –setidaknya menurut saya– makna, filosofi, dan ruh Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang sesungguhnya. Wallahu a’lam bisshowaf. (*)