Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Di dunia pendidikan, secara konsep merdeka belajar sesungguhnya bukanlah barang baru. Jauh sebelum ditetapkan sebagai program Merdeka Belajar oleh pemerintah (baca: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi/Kemendikbud-ristek) saat ini, merdeka belajar telah menjadi filosofi yang mendasari pengelolaan pendidikan di sekolah.
Adalah Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang meletakkan dasar atau fondasi merdeka belajar, yang secara filosofis memberikan kemerdekaan dalam menyiapkan materi pembelajaran terhadap peserta didik yang esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, kebutuhan, dan karakteristik mereka.
Dalam perkembangannya, konsep pembelajaran yang ideal ini pun mulai tergerus oleh roda zaman, dilupakan, dan akhirnya bias dengan konsep-konsep yang datang belakangan. Alih-alih memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran dalam pendidikan, yang terjadi justru sebaliknya. Pembelajaran di sekolah menjadi jauh dari spirit filosofi dan nilai-nilai dasar pendidikan yang fondasinya telah ditanam kuat-kuat oleh Ki Hajar Dewantara.
Carut-marut pengelolaan pendidikan, khususnya terkait proses pembelajaran terjadi di hampir jenjang pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah, bahkan hingga pendidikan tinggi. Hal ini sempat memantik kegelisahan pegiat pendidikan Darmaningtyas. Puncak kegelisahan itu lalu dituangkan dalam sebuah buku fenomenal berjudul Pendidikan Rusak-Rusakan yang kali pertama diterbitkan LKiS Yogyakarta tahun 2005. Dalam buku setebal xiv + 360 halaman ini banyak disoroti ketimpangan pengelolaan pendidikan dari hulu hingga hilir yang pada gilirannya berdapak pada keluaran (out put) pendidikan yang dinilai belum optimal.
Menyadari kelemahan dan carut-marut dunia pendidikan tersebut, lalu muncul kesadaran untuk mengembalikan ruh pengelolaan pendidikan dengan melandaskan dan mengadopsi kembali konsep dan filosofi yang telah dipancangkuatkan oleh Ki Hajar Dewantara. Pemerintah, melalui Kemendikbud-ristek, lalu merumuskan kembali konsep pendidikan yang telah tercerabut dari akarnya itu lewat program Merdeka Belajar.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud-ristek, Iwan Syahril menjelaskan, program Merdeka Belajar merupakan filosofi yang berasal dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Program Merdeka Belajar, katanya, fokus pada asas kemerdekaan dalam menerapkan materi yang esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, kebutuhan, dan karakteristik peserta didik.
Ki Hajar Dewantara, lanjutnya, melarang adanya paksaan kepada anak didik, karena hal itu justru akan mematikan jiwa merdeka serta kreativitasnya. Merdeka Belajar memberikan kebebasan bagi guru dan siswa untuk menerapkan sistem pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, sehingga nantinya turut meningkatkan kualitas sistem pendidikan nasional.
Nyaman Belajar
Nah, demikian pentingnya kemerdekaan dalam proses pembelajaran untuk membebaskan semua entitas pendidikan dari belenggu dan pasung pendidikan, diperlukan pengondisian yang membuat pembelajaran di sekolah nyaman bagi semua pihak. Para pihak itu bisa dari elemen guru, murid, pengelola lembaga pendidikan (sekolah), maupun para orang tua atau wali murid. Kalau suasana nyaman sudah tercipta dan dinikmati para pihak yang berkepentingan, maka tujuan pendidikan pun bisa direalisasikan tanpa ada beban dan tanpa ada pihak yang merasa tertekan.
Pada gilirannya, dalam tataran praksis, proses pembelajaran pun bisa berlangsung enjoy dan tujuan pendidikan bisa diraih secara maksimal. Konsep yang tertuang dalam program atau juga dianggap kurikulum Merdeka Belajar pada akhirnya tak boleh berhenti pada manisnya konsep, tanpa implementasi yang jelas dan terukur. Sebaliknya, dalam praktik Merdeka Belajar perlu dimerdekakan sehingga nikmatnya bisa dirasakan oleh para pihak yang berkepentingan, bukan sekadar “polesan kurikulum” yang setiap berganti menterinya, ganti pula konsep dan implementasinya.
Dengan demikian, hakikat Merdeka Belajar itu memberikan keleluasaan kepada siswa atau peserta didik untuk bisa menikmati suasana belajar yang nyaman dengan mengeksplor kemampuan siswa secara maksimal, sesuai dengan minat dan kapasitas yang dimiliki, tanpa merasa ada tekanan. Belajar dengan enjoy itu suasana yang harus dibangun dan dikembangkan.
Untuk maksud ini, pengelola lembaga pendidikan, dalam hal ini direpresentasikan oleh kepala sekolah, dituntut untuk menyiapkan guru-guru andal yang mampu menerjemahkan konsep program Merdeka Belajar dan mampu mengaplikasikan di lapangan dengan suasana yang benar-benar nyaman dan enjoy.
Jadi, sebelum mengeksplor semua potensi siswa, yang perlu disiapkan dulu adalah gurunya. Kapasitas guru perlu terus di-up grade lewat berbagai formula pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lewat sekolah penggerak yang ditunjuk. Kalau guru-gurunya sudah memiliki kompetensi untuk menerapkan program Merdeka Belajar dengan baik, maka siswa pun bisa mengikutinya dengan baik pula.
Libatkan Orang Tua
Peran entitas lain yang tak bisa dianggap sepele dalam menumbuhkembangkan potensi peserta didik adalah keterlibatan orang tua. Peran para orang tua justru sangat penting dan mendasar. Sebab, dari orang tualah informasi tentang kondisi anak atau peserta didik bisa digali oleh pihak sekolah, khususnya tim Bimbingan dan Konseling (BK). Informasi awal dari para orang tua sangat bermanfaat untuk memetakan potensi anak didik. Pada gilirannya, guru di sekolah tinggal membimbing dan mengawal prestasi anak itu sesuai dengan kapasitas dan potensi yang mereka miliki.
Pada tahap inilah perlu diagendakan agenda-agenda parenting pendidikan yang di dalamnya banyak melibatkan para orang tua untuk mengetahui dan menggali peta potensi anak. Dengan mengetahui peta potensi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak, maka tidak selayaknya orang tua memaksakan kehendak kepada anak didik untuk memilih program yang tidak dimininati anak. Pada konteks ini, maka yang perlu “disekolahkan” sesungguhnya tidak hanya anak, tetapi juga sekaligus orang tuanya.
Karena itu, penting bagi pihak sekolah untuk menjalin komunikasi secara intensif dengan para orang tua murid. Biar lebih fokus, buatlah agenda yang secara periodik bisa mengoptimalkan peran orang tua dalam ikut melejitkan potensi anak didik sesuai potensi dan cita-citanya. Baik orang tua maupun guru jangan memaksa anak jadi ini-itu. Biarkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, dan minat yang mereka miliki. Itu modal utama yang mesti diketahui untuk melejitkan potensi para siswa.
Sebagai program, Merdeka Belajar memang masih perlu terus disosialisasikan kepada publik, khususnya para pengampu dan pemangku kepentingan (stakeholder) dunia pendidikan. Jangan sampai kebijakan bottom up ini hanya indah di tataran konsep, namun rapuh di tingkat implementasi. Karena itu, perlu kesamaan persepsi dan frekuensi dari para pendidik, peserta didik, orang tua, dan semua stakeholder yang memiliki empati terhadap perkembangan pendidikan di negeri ini.
Dengan demikian, program Merdeka Belajar mampu menjawab tuntutan perkembangan zaman. Pada gilirannya, kelezatannya bisa dinikmati oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi para peserta didik untuk mengantarkan ke tangga sukses sesuai dengan yang mereka cita-citakan. (*)
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id.