Catatan Pinggiran SUHARTOKO*
Membedah masalah dan mencari solusi merebaknya polusi udara akibat gas buang emisi dari knalpot kendaraan di kota-kota besar di Indonesia, sama ruwetnya dengan mengurai benang kusut, basah lagi. Banyak aspek berkelindan yang kesemuanya butuh perhatian sebagai indikator yang mesti dibenahi secara simultan dan tuntas.
Aspek-aspek kehidupan yang memiliki kedekatan irisan akibat polusi udara, selain terkait kesehatan dan lingkungan, dampaknya juga merembet ke aspek lainnya di masyarakat, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Sekali lagi, dampak yang ditimbulkan tidak saja menyergap aspek kesehatan dan lingkungan (baca: langit yang nampak bersih dan cerah), juga sejumlah aspek lainnya.
Sebuah diskusi publik yang dikemas lewat webinar (zoom meeting) yang diinisiasi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Kantor Berita Radio (KBR), Kamis, 23 November 2023 lalu, setidaknya menggugah kesadaran, bahwa polusi udara telah melahirkan masalah serius bagi masyarakat. Karena itu, perlu format solusi yang simultan dan tuntas, sehingga polusi tidak lagi memantik “bahaya laten” bagi masyarakat.
Dengan tema “Sinergitas Sektor Transportasi dan Sektor Energi untuk Mewujudkan Kualitas Udara”, diskusi publik menghadirkan narasumber dari para pemangku kepentingan (stake holder). Di antaranya, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, YLKI, sejumlah pejabat di Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali (Denpasar), Semarang, juga Yogyakarta. Tak hanya itu, para pelaku bisnis transportasi yang tergabung dalam Organda juga terlibat dalam diskusi publik secara online ini.
Beragamnya kondisi geografis dan lapangan di kota-kota besar yang berpotensi besar terhadap terjadinya polusi udara, dampaknya juga beragam. Meski begitu, tren naiknya pengidap atau pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di kota-kota besar di Indonesia akibat polusi udara tak terbantahkan.
Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, misalnya, menunjukkan, bahwa terdapat 638.291 kasus ISPA di Ibu Kota ini untuk periode Januari hingga Juni (semester I) 2023. Warga DKI Jakarta yang terkena batuk, pilek, ISPA/peneumonia setiap bulannya rata-rata 100 ribu kasus dari total 11 juta penduduk.
Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ngabila Salama, mengatakan, jumlah tersebut dihimpun berdasarkan rata-rata kasus ISPA yang ditemukan di rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Jakarta.
Kasus ISPA Ibu Kota, tambah Ngabila, sempat menurun pada periode April-Mei, tetapi kasus itu kembali naik pada Juni 2023 yang terdapat 102.475 kasus. Sebelumnya, Dinkes DKI Jakarta mengklaim, bahwa sejumlah masyarakat penderita ISPA diduga akibat buruknya kualitas udara di Jakarta.
Menurut IQAir, DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk ke-4 di dunia pada pertengahan Agustus 2023. Sementara indeks kualitas udara di Jakarta menembus angka 157, yang berarti masuk dalam kategori kualitas udara tidak sehat.
Adapun polutan utama udara di Jakarta pada periode yang sama, yakni PM 2,5 dan nilai konsentrasi yang mencapai 67,1 µg/m³ (mikrogram per kubik). Angka tersebut dinilai 13,4 kali lipat di atas nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sementara standar kualitas udara ideal WHO memiliki bobot konsentrasi PM 2,5 antara 0-5 mikrogram per meter kubik.
Di Surabaya, barometer kedua setelah DKI Jakarta, dalam periode Januari – Juli 2023, penyakit ISPA/pneumonia lebih rendah dibanding DKI Jakarta, yakni 174.444 kasus. Dari jumlah itu, sekitar 6 ribu di antaranya menyerang balita. Angka tersebut didasarkan pada data kumulatif kasus ISPA berdasarkan laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) Kota Surabaya.
Tren naiknya kasus penyakit ISPA yang diduga lebih banyak akibat polusi udara itu juga diakui beberapa pejabat Dinkes di kota-kota besar lainnya. Meski polusi udara bukan satu-satunya penyebab, tak dapat dimungkiri, bahwa polusi udara memiliki andil cukup kuat terhadap terjangkitnya ISPA.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara (PPU), Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Luckmi Purwandari, tidak menampik, bahwa polusi udara memiliki dampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Menurut dia, selama bahan baku dari bahan bakar minyak (BBM) masih menggunakan energi fosil, selama itu pula produksi polusi udara tak bisa dihindari. Karena itu, lanjutnya, sudah waktunya dipikirkan menggunakan bahan baku yang tidak berpotensi menimbulkan polusi.
Tawaran Solusi
Bagaimana menyikapi tren meningkatnya polusi udara akibat emisi gas buang dari kendaraan bermotor di jalanan untuk menciptakan “langit biru” yang bersih dan nyaman bagi penghirup udara di tengah sergapan raungan kendaraan bermotor? Bagaimana pula menyelamatkan kesehatan masyarakat yang nyata-nyata terimbas atau terdampak polusi udara, misalnya maraknya penyakit ISPA?
Alur diskusi publik memang tidak sampai menghasilkan solusi permanen oleh pengambil kebijakan di negeri ini. Solusi yang berkembang pada forum-forum diskusi atau seminar, lebih bersifat tawaran yang implementasinya banyak bergantung pada palaku kebijakan di pemerintahan.
Tetapi, paling tidak tawaran solusi yang beredar di ruang-ruang publik selama ini, mampu menjadi penawar duka berkepanjangan, karena adanya harapan baik yang terbuka. Harapan pada perbaikan kondisi, di antaranya terkait kesehatan masyarakat dan penyelamanatan lingkungan.
Secara teknis, banyak pihak menyarankan agar pengurangan kadar polusi udara dilakukan dengan mengganti bahan baku untuk memproduksi bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, penggunaan transportasi umum (public transportation) perlu digalakkan dengan terus menambah unit armadanya. Selain itu, perlu penyadaran masyarakat untuk lebih memilih transportasi umum ketimbang transportasi pribadi dalam menopang aktivitasnya.
Secara bertahap, produksi kendaraan listrik juga perlu dimasifkan, yang secara berangsur diharapkan bisa menggeser populasi kendaraan bermotor berbahan baku fosil yang nyata-nyata menghasilkan polusi udara. Ya, kendaraan listrik secara teknis memang relatif aman terkait dengan polusi udara dibanding kendaraan dengan BBM selama ini.
Tidak kalah pentingnya, pejabat publik, mulai para bupati/walikota dan wakilnya, gubernur/wakil gubernur, menteri kabinet, hingga presiden dan wakil presiden serta jajarannya, memberikan teladan yang baik kepada masyarakat dalam berkendara. Teladan dimaksud, tidak lagi menggunakan iring-iringan kendaraan –hingga puluhan kendaraan— dalam even atau kunjungan kerja mereka.
Selain bisa berhemat BBM, dipastikan pengurangan iring-iringan kendaraan mampu mengurangi pula potensi polusi udara. Imbauan pemerintah kepada masyarakat untuk lebih menggunakan kendaraan umum ketimbang pribadi, tentu akan menguap begitu saja manakala pemangku kebijakan (pemerintah) sendiri justru suka show of force dalam menggunakan kendaraan pribadi dan beringin-iringan panjang.
Solusi lain yang bisa dilakukan untuk mengerem laju polusi akibat polusi udara adalah pembatasan produksi kendaraan di pabrik-pabrik otomotif dan kepemilikannya oleh masyarakat. Meski tak gampang dilakukan atau membalik telapak tangan, –karena diperkirakan mendapat perlawanan dari produsen otomotif–, good will politik perlu terus dikampanyekan oleh pemerintah, hingga ada rasio ideal jumlah produksi kendaraan dengan jumlah calon penggunanya.
Untuk maksud ini, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mendesak perlunya roadmap yang jelas, tidak sekadar slogan. Mobilisasi kendaraan pribadi di jalanan, katanya, punya andil kuat dalam melahirkan polusi udara. Karenanya, penggunaan public transport, paling tidak akan menjadi penawar akutnya polusi akibat deru knalpot kendaraan yang menyembulkan asap-asap beracun.
Sebagai fenomena, polusi udara akibat kendaraan bermotor yang paling tidak berimplikasi pada buruknya kualiats kesehatan masyakat dan penyelamatan lingkungan udara, tidak cukup ditangani secara parsial dan sporadis. Perlu sinergi berbagai pihak pemangku kepentingan (stake holder), baik dari elemen pemerintah, masyarakat konsumen, pegiat lingkungan, pengusaha transporrtasi, dan lain-lain untuk menyamakan frekwensi guna memperoleh solusi ideal dan terukur. {*}
*) SUHARTOKO, Pemimpin Redaksi RadarJatim.id.