Oleh Sabarnuddin*
Penjajahan yang berlangsung di Indonesia tidak hanya meninggalkan jejak buruk, namun juga jejak yang hingga kini diikuti oleh politisi. Kebijakan Hindia Belanda menerapkan culturstelsel (tanam paksa) ternyata memantik kritikan dari dalam negeri mereka sendiri.
Di antara yang menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda ialah Brooshooft dan C. Th. Van Deventer yang dirilis dalam bukunya yang berjudul Een ereschuld (Utang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah de gid tahun 1899. Kritikan mereka ialah kebijakan culturstelsel yang merugikan dan menyengsarakan rakyat, namun di negeri mereka bermewah–mewah dari hasil penderitaan rakyat.
Pelaksanaan tanam paksa telah berlangsung sejak 1830 dengan pencetusnya ialah Johannes Van de Bosch yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu. Kebijakan ini tidak berlangsung lama, gencarnya karena kritikan dari para petinggi dan parlemen Hindia Belanda sendiri, yang akhirnya tahun 1863 kebijakan ini dihentikan.
Melihat telah banyak rakyat yang sengsara hingga akhirnya pemerintah memberikan kompensasi berupa irigasi untuk mengairi sawah dan perkebunan, pendidikan untuk anak-anak pribumi walaupun terkesan untuk kaum pria yang diutamakan, dan imigrasi yakni membagi rakyat Jawa ke pulau luar, padahal tujuan aslinya untuk menambah tenaga kerja baru di pulau Sumatera, Kalimantan, dan lainnya. Kebijakan yang terlihat menguntungkan ini disebut dengan politik balas budi atau culturstelsel.
Apakah hal yang sama juga terjadi pada organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan yang sejauh ini dinilai telah memberikan kontribusi untuk negara?
Pemberian hak kelola tambang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis, 3 Mei 2024 lalu lewat Peraturan Pemerintah 25/2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 soal Pelaksaanan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (minerba). Dalam pasal 83A PP25/2024 disebutkan, bahwa regulasi baru itu mengizinkan Ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah bisa mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Mengenai hal ini Indonesian Mining and Energi Forum (IMEF) menyoroti keputusan pemerintah tersebut. Singgih Widagdo, Ketua IMEF menyatakan, pasal 83A berbunyi: Penawaran secara prioritas WIUPK sebatas untuk Ormas keagaamaan. Bahkan dalam pasal yang sama ditegaskan, Ormas keagamaan harus sebagai pemegang saham mayoritas, pengendali dan tidak boleh bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.
Respons senada juga disampaikan anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Dalam paparannya ia menyebut, secara regulasi-administrasi, hal dibenarkan. Namun, dalam sudut pandang politik, upaya ini sangat kentara motif untuk bagi-bagi kue ekonominya. Saat ini saja dua orang mantan Dirjen Minerba jadi tersangka, bahkan sudah beralih jadi terpidana. Dan, hingga kini Dirjen Minerba belum ada yang definitif.
Penyumbang Suara pada Pemilu
Dalam ungkapan “Ada asap, sudah pasti ada api” yang berarti tidak serta-merta suatu hal terjadi, tetapi pasti ada yang melatarbelakanginya. Dalam survei LSI disebutkan, warga Nahdliyyin di Jawa Timur (Jatim) cenderung memilih Prabowo-Gibran. Sebanyak 47,1% responden mengaku warga Nahdliyin memilih Capres/Cawapres 02 (Prabowo-Gibran). Sementara survei ARCI di Jatim, 36,7% responden mengaku warga Nahdhliyin memilih pasangan Capres/Cawapres 02.
Pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada, Trubus Rahadiansyah, menilai, perubahan aturan tersebut tak lain dari bentuk “terima kasih” Presiden Jokowi kepada Ormas keagamaan yang telah membantu kemenangan dalam kontestasi elektoral. Menurutnya, menyerahkan pengelolaan tambang kepada Ormas justru hanya akan menambah carut-marut pengelolaan tambang di Indonesia. Di lain hal, jika ditelusuri lebih jauh, yang saat ini Ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, sudah sangat kaya akan asetnya diberbagai daerah, bahkan di luar negeri. Berbagai aset yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, seperti sekolah, rumah sakit, lembaga sosial, perguruan tinggi, dan lain-lain. Jika diklaim Ormas besar butuh dana, maka aset yang sangat banyak itu sudah bisa menjelaskan dengan sendirinya berapa jumlah kekayaan Ormas tersebut.
Dalih yang seolah ambigu jika dipersepsikan bahwa Ormas sangat butuh sokongan dana, lalu selama ini berjalan dan telah memberikan banyak untuk negara, apakah ada yang mengeluh? Paling tidak, belum terdengar suara yang menggambarkan adanya kekurangan dana untuk Ormas besar yang menaungi 84,35% umat Islam. Tesis yang kuat mengindikasikan setelah Pemilu ada banyak hal baru secara mendadak terjadi dan rasa terima kasih diungkapkan melalui pemberian izin kepada Ormas, yang seharusnya melalui jalur lelang yang sangat ketat.
Dilema Pengelolaan Tambang
Jika digambarkan, tak ubahnya seperti ahli matematika yang diberikan pekerjaan bertani, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kekacauan yang tidak menghasilkan, justru merusak ekosistem. Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmiy Radhi, menyebut, pemberian konsesi tambang kepada Ormas keagamaan berpotensi melanggar konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan, seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberian prioritas pengelolaan tambang itu BUMN dan BUMD, sementara yang swasta harus melalui biding (lelang). Kemudian negara memungut royalti, pajak, dan lain sebagainya yang didistribusikan kembali ke rakyat melalui APBN.
Penolakan dari berbagai elemen masyarakat dari yang awam hingga para ahli, terlihat tidak mengubah keputusan pemerintah untuk membatalkan Peraturan Pemerintah tersebut. Pemerintah menyiapkan enam wilayah tambang batu bara yang sudah pernah berproduksi atau eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) untuk badan usaha Ormas keagamaan. PKP2B ialah perjanjian antara pemerintah dan perusahaan berbadan hukum untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan batu bara.
Pemaparan dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, tambang yang hendak dikelola oleh Ormas keagamaan nantinya akan dikerjakan oleh kontraktor. Jika ditinjau berdasarkan kasus yang telah terjadi permasalahan tambang akan lebih kompleks. Contohnya, kasus Wadas, batu bara di Kalimantan, dan nikel di Sulawesi maupun Maluku yang menyebabkan pencemaran air laut, tanah, dan udara.
Kesehatan masyarakat juga terganggu, sumber pangan warga pun akan berkurang. Potensi pelanggaran HAM karena perizinan kerap menggunakan cara kotor tanpa persetujuan masyarakat. Ada puluhan ribu titik lubang tambang dibiarkan menganga tanpa proses rehabilitasi dan lubang-lubang ini telah memakan korban puluhan tahun. Maka, sangat kontras jika disandingkan dengan Ormas keagamaan yang selama ini menyampaikan hal menjaga alam merawat keutuhan alam yang diberikan Tuhan, namun faktanya justru mereka ikut andil membuat kerusakan alam.
Dalam praktiknya, Ormas keagamaan tidak dibekali kemampuan untuk mengelola pertambangan, karena sejak awal tujuan mereka di seputar pemberian manfaat sebesar-besarnya untuk umat, bukan justru sebaliknya. Jikapun nantinya tambang yang mereka kelola berhasil dibuktikan dengan data, maka akan terbuka pula data berapa korban yang diakibatkan oleh pengelolaan tambang tersebut. Secara sederhana, sesuatu yang tidak profesional justru akan mengakibatkan dampak buruk yang besar. Ambisi semata yang telah membutakan fakta yang selama ini telah terjadi pada dunia pertambangan.
Konflik Berkepanjangan dan Chaos
Ormas keagamaan memiliki simpatisan atau pengikut yang fanatik, dengan gagah berani berjuang dan berkorban untuk membela Oramsnya. Namun, bagaimana jika yang terjadi penyelewengan akibat pertambangan yang telah berjalan? Bisa jadi akan terjadi skenario, suatu tempat dengan potensi tambang yang besar dan bisa dikelola, namun harus mengorbankan warga setempat. Maka, ini bukan hal mudah rakyat mempertahankan tanah dan alamnya untuk dirusak melawan simpatisan fanatik Ormas yang mengelola tambang tanpa memperhatikan kondisi setempat.
Hal ini berpotensi terjadi dan rakyat tidak perlu kaget, karena inilah akibat Ormas keagamaan diberi izin pengelolaan tambang. Fanatisme pengikut Ormas cenderung akan membabi buta membela dan memberikan penjelasan, namun fakta yang benar tidak dapat dinafikan, bahwa tambang yang semakin meraja lela demi mengeruk keuntungan semata tanpa memikirkan nasib anak cucu mendatang dengan alam yang telah rusak.
Pengamalan nilai-nilai keagamaan justru seharusnya lebih dipahami oleh para pengurus Ormas akan pentingnya menjaga alam dan pemanfaatanya. Jika ditanyakan dalil atau landasan agamanya, mereka akan sangat fasih menjelaskan. Namun, jika itu tetap dilakukan dan merugikan masyarakat, apakah itu yang dinamakan menjalankan nilai ajaran agama? Berbagai prasangka baik turut hadir untuk memberikan support kepada Ormas keagamaan, namun akan menjadi jejak yang tak terlupakan betapa “kejinya” Ormas keagamaan merelakan rakyat menjadi korban demi keuntungan yang akan habis, namun menyisakan luka. {*}
*) Sabarnuddin, Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.