Oleh Andhika Wahyudiono*
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Indonesia, yang diluncurkan untuk mengatasi masalah kebutuhan perumahan, telah menjadi topik diskusi hangat. Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, bahwa pada prinsipnya kepesertaan dalam program ini bersifat sukarela. Namun, regulasi terbaru menunjukkan adanya perubahan dalam penerapannya, yang menimbulkan pertanyaan mengenai sifat sukarela atau wajib dari program tersebut.
Tapera kali pertama muncul sebagai ide saat Suharso menjabat sebagai Menteri Perumahan Rakyat periode 2004-2009 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gagasan ini lahir dari kebutuhan untuk mengatasi backlog perumahan yang signifikan, serta menyediakan akses pembiayaan bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses pembiayaan perbankan, atau biasa disebut non-bankable. Menurut Suharso, tujuan utama Tapera adalah menyediakan dana murah yang dapat diakses oleh masyarakat luas untuk membeli rumah, suatu kebutuhan dasar yang esensial.
Pada awalnya, Tapera didesain mirip dengan skema tabungan haji, yang di dalamnya masyarakat menabung secara sukarela dan dana tersebut nantinya bisa digunakan untuk membeli rumah. Hal ini diungkapkan Suharso dalam sebuah kesempatan di Wisma Sabha, Kantor Gubernur Bali, Denpasar, pada tanggal 29 Mei 2024. Dia menegaskan, tabungan ini bersifat sukarela dan terbuka untuk seluruh masyarakat, terutama mereka yang belum memiliki rumah.
Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya pergeseran dari konsep sukarela tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, –yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024–, Tapera kini memiliki unsur kewajiban. Pemerintah akan memotong gaji pekerja sebesar 3 persen untuk simpanan Tapera paling lambat pada 2027. Potongan ini berlaku untuk semua pekerja, termasuk PNS, TNI, Polri, karyawan swasta, pekerja mandiri, hingga freelancer.
Perubahan ini menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Pada satu sisi, program Tapera berupaya untuk mengatasi backlog perumahan yang terus meningkat dan memberikan solusi pembiayaan bagi masyarakat non-bankable. Di sisi lain, adanya kewajiban potongan gaji menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana program ini benar-benar bersifat sukarela seperti yang awalnya diungkapkan.
Suharso sendiri nampak kurang yakin dengan pernyataan awalnya tentang sifat sukarela Tapera. Dalam pernyataan lanjutannya, dia mengakui, bahwa belum mengetahui dengan pasti bentuk final dari program tersebut. Hal ini menunjukkan adanya ketidakjelasan atau mungkin perubahan dalam implementasi kebijakan ini dari yang semula bersifat sukarela menjadi bersifat wajib.
Kebijakan potongan gaji untuk Tapera ini tentunya membawa implikasi bagi berbagai pihak. Bagi pekerja, terutama yang pendapatannya sudah pas-pasan, potongan gaji sebesar 3 persen bisa menjadi beban tambahan. Namun, bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah dan tidak memiliki akses pembiayaan lain, Tapera bisa menjadi solusi penting. Program ini juga berpotensi membantu pemerintah dalam mengurangi backlog perumahan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendukung pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Implementasi program Tapera tidaklah terlepas dari berbagai tantangan dan hambatan yang perlu diatasi. Meskipun memiliki tujuan mulia untuk menyediakan solusi pembiayaan perumahan bagi masyarakat, regulasi terbaru yang mengubah sifat sukarela menjadi wajib dalam program ini menimbulkan sejumlah tantangan yang perlu dipertimbangkan.
Salah satu tantangan utama dalam implementasi Tapera adalah perubahan paradigma dari program sukarela menjadi wajib. Hal ini tentu saja menimbulkan resistensi dari sebagian masyarakat, terutama mereka yang merasa terbebani dengan potongan gaji yang akan dilakukan untuk program ini. Penolakan atau ketidakpuasan dari sebagian masyarakat dapat menjadi hambatan serius dalam mencapai kesuksesan program ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan komunikasi yang efektif dan memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat mengenai manfaat dan urgensi dari program Tapera ini.
Selain itu, tantangan lainnya adalah dalam hal administrasi dan teknis pelaksanaan program. Mengelola dana dari potongan gaji pekerja secara efisien dan transparan memerlukan sistem yang kuat dan tepercaya. Pemerintah perlu memastikan, bahwa sistem administrasi Tapera dapat berjalan dengan lancar dan tidak rentan terhadap penyalahgunaan atau kecurangan. Selain itu, pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dana yang dapat merugikan peserta program, serta mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap program tersebut.
Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah dalam hal inklusivitas dan aksesibilitas program. Meskipun Tapera dirancang untuk memberikan akses pembiayaan perumahan bagi semua lapisan masyarakat, namun masih ada potensi, bahwa sebagian masyarakat, terutama yang berada di daerah terpencil atau kurang berpendidikan, kesulitan untuk mengakses informasi dan mendaftar sebagai peserta program. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih lanjut dalam melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan prosedur partisipasi dalam Tapera.
Selain tantangan dalam implementasi, ada pula hambatan struktural yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kurangnya infrastruktur perumahan yang memadai. Di beberapa daerah, terutama di perkotaan, ketersediaan rumah yang terjangkau masih menjadi masalah serius. Tanpa adanya peningkatan infrastruktur perumahan yang memadai, efektivitas dari program Tapera dalam menyediakan solusi perumahan bagi masyarakat akan terbatas.
Selanjutnya, hambatan dalam hal kebijakan dan regulasi juga perlu diperhatikan. Meskipun regulasi Tapera telah diperbarui untuk memasukkan unsur kewajiban, namun masih ada kemungkinan adanya perubahan kebijakan di masa mendatang yang dapat memengaruhi jalannya program ini. Ketidakpastian mengenai kebijakan dan regulasi dapat membuat peserta program ragu untuk berinvestasi dalam Tapera, sehingga mengurangi efektivitas program tersebut.
Dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan dan kesuksesan program Tapera. Hal ini termasuk meningkatkan komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat, meningkatkan infrastruktur perumahan, serta memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan program. Dengan upaya yang terkoordinasi dan berkelanjutan, diharapkan program Tapera dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan akses perumahan bagi masyarakat Indonesia.
*) Andhika Wahyudiono, Dosen UNTAG Banyuwangi, Jawa Timur.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.