Oleh: Moh. Husen*
Malam hari bulan Ramadan di sebuah warkop tepi jalan, seorang ketua ormas “nasionalis”, saya tanya prihal ada anggota dalam internal kelompoknya yang ditengarai ingin pelan-pelan menggesernya dari kursi ketua. Secara remang-remang, bau dugaan penggeseran itu sudah agak lama dicium oleh si ketua.
Panjang lebar kami ngobrol. Namun perbincangan kami di warkop itu, masih belum bisa saya tuliskan di sini. Selain masih off the record, saat ini kita berada di bulan puasa. Meskipun tidak masalah andai kita menulis mengenai hasil Pemilu, SK karteker, prepare Pilkada 2024 atau apa saja. Tapi saya pribadi, masih ingin menulis seputar puasa.
Kita sering mendengar bahwa puasa itu pengekangan hawa nafsu hingga batas waktu tertentu. Seperti sedang membawa seseorang masuk ke jeruji besi penjara. Amsal atau perumpamaan ini sepertinya menarik. Membuat kita sedikit membayangkan andai kita benar-benar berada di dalam penjara.
Apa yang Anda lakukan jika Anda benar-benar di penjara? Apakah Anda akan berhenti bernafas dan bunuh diri? Ataukah Anda bersabar saja menjalani tidak enaknya di penjara sambil mensyukuri berbagai hal yang memang masih bisa disyukuri meskipun di penjara?
Apakah karena di penjara Anda otomatis tidak bisa hidup? Apakah kemudian Anda tidak bisa bernafas? Apakah Anda tidak bisa duduk diam dengan punggung tegak lurus sebentar saja setiap hari selama 5 atau 10 menit untuk melepaskan semua beban yang ada?
Tapi puasa tidak seseram orang yang masuk penjara. Yang ingin saya sampaikan begini: begitu seseorang masuk penjara, dia akan menyesal, mengerti dan menyadari mengenai apa saja yang semestinya harus dia lakukan dan apa saja yang semestinya harus dia hindari ketika atau saat berada di luar penjara.
Orang yang berpuasa akan mengerti apa saja yang sebaiknya ia lakukan pasca puasa atau di luar Ramadan. Minimal dia tahu lapar itu tidak enak dan bisa membahayakan pada kondisi tertentu, sehingga kalau dia berbagi “makanan” bukan kepada orang yang sudah kaya, bermobil, rumah mewah, dan keluarganya tidak ada yang lapar.
Terkadang kita sangat serius salah dalam berbagi, sangat serius salah dalam memilih pemimpin, sehingga yang lapar tetap lapar.
Banyuwangi, 22 Maret 2024
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.