Tulisan ini lahir sebagai respon atas pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim yang banyak memantik kontroversi di media sosial (medsos). Suara publik umumnya menentang atau tidak setuju dengan pernyataan menteri yang dari aspek usia tergolong muda ini.
Namun, penulis justru sebaliknya, dan merespon positif atau bahkan sangat setuju dengan pernyataannya. Tentu respon positif ini dengan sudut pandang, pemahaman, dan analisis yang berbeda.
Pertama, Mas Menteri Nadiem bilang: Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi. Pernyataan itu ada benarnya, karena pada kenyataannya, seseorang tidak memiliki kompetensi yang maksimal, meski gelar yang disandangnya cukup banyak. Mengapa?
Karena pada hakikatnya, kompetensi itu meliputi tiga hal, yakni knowledge, skill, dan personal quality. Pertanyaannya adalah, apakah mereka yang memiliki gelar sudah memiliki ketiganya?
Dari pernyataan Mas Menteri tersebut, bukan berarti sekolah dan kuliah itu tidak penting. Akan tetapi, bagaimana ketika menempuh Pendidikan di sekolah atau kampus, selain memperoleh pengetahuan dan keterampilan, seseorang juga harus mampu mengasah kualitas dirinya, baik secara emosional dan spiritual. Apabila ketiganya sudah dimiliki oleh setiap manusia, maka tanpa memiliki gelar pun mereka layak mendapat gelar ‘kompeten’.
Kedua, Mas Menteri Nadiem bilang: Kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamim kesiapan kerja. Penulis sangat setuju. Mengapa demikian? Sebab, mereka yang sudah dinyatakan lulus dari jenjang pendidikan tertentu, ketika melamar pekerjaan dan diterima, banyak yang mengundurkan diri.
Alasannya beragam. Di antaranya, pekerjaan yang dia jalani tidak sesuai dengan ijazah, tempat kerja jauh dengan rumah dan keluarga, dan alasan lain yang dilontarkan demi menutupi kelemahan yang dimiliki.
Dalam kenyataannya tidak ada jaminan, bahwa pekerjaan pertama yang akan dijalani pasti sesuai dengan jurusan atau disiplin ilmu yang tertulis dalam ijazah kita. Oleh karena itu, setiap orang harus mempersiapkan dirinya untuk bekerja sesuai dengan peluang dan kesempatan yang ada.
Hal itu karena persaingan kerja sangat tinggi, setidaknya kita bekerja dengan penghasilan yang sesuai kemampuan yang ada pada diri kita. Sebab seseorang bisa memiliki lebih dari satu kecerdasan. Justeru itulah yang akan menyelamatkannya setelah terjun ke dunia kerja.
Ketiga, Mas Menteri Nadiem bilang: Kita memasuki era dimana akreditasi tidak menjamin mutu. Sudah pasti. Mengapa? Karena pada kenyataannya banyak sekolah dan kampus dengan nilai akreditasi sangat baik (A bahkan mungkin A+) belum mampu melahirkan mutu pendidikan, bahkan output lulusannya yang membanggakan banyak pihak.
Buktinya, banyak lulusan sekolah dan kampus dengan nilai akreditasi yang sangat baik, tidak mampu bersaing di jenjang yang lebih tinggi. Ini terjadi karena pembelajarannya tidak diimbangi dengan mempersiapkan SDM yang juga berkualitas. Mereka hanya mengejar kuantitas.
Dengan penjelasan tersebut, lalu di mana letak kesalahan pernyataan Mas Menteri Nadiem? Marilah kita bersama-sama membuka mata kita untuk melihat realitas yang ada saat ini. Justeru kita harus berterima kasih kepada Mas Menteri Nadiem, karena dengan ketiga pernyataannya, pancaindera, pola pikir, bahkan hati nurani kita terketuk untuk melihat kenyataan yang ada di sekeliling kita.
Mas Menteri Nadiem sebenarnya membangunkan kita dari tidur panjang, terutama yang berkiprah di dunia pendidikan. Mengapa demikian? Karena selama ini peserta didik hanya terpaku pada selembar kertas berharga yang namanya ijazah yang di dalamnya tercantum gelar akademik, angka-angka kelulusan, dan nilai akreditasi. Sebaliknya proses Pendidikan tanpa diimbangi dengan kualitas SDM sesuai dengan apa yang tertera dalam selembar kertas berharga tersebut. Ironis bukan?
Oleh karena itulah, sebagai guru (Pengawas Sekolah – saat ini), penulis sangat setuju dengan ketiga pernyataan Mas Menteri tersebut. Mengapa? Karena dari situlah akar persoalan pendidikan di Indonesia harus diperbaiki. Tidak mudah memang, tapi saya yakin pasti bisa. Mengapa saya sangat optimistis? Karena Tuhan menciptakan manusia selaku subjek dan objek Pendidikan, sebagai makhluk yang paling sempurna. Tentu saja semuanya harus dilaksanakan secara kolaboratif.
Karena pada hakikatnya setiap manusia memiliki kecerdasan dan kemampuan yang berbeda-beda, maka semua potensi positif itu bersatu dalam sebuah teamwork yang solid, akan mampu menyelesaikan persoalan pendidikan di Indonesia.
Akhirnya, hidup itu bukan cuma direnungi dan dipikirkan, tapi justru untuk dijalani. Hanya mereka yang mampu menjalani proses dan tahapan kehidupan dengan baik yang akan menjadi pemenang sejati. (*)
*) HASNAH, SPd, MPd, Pengawas SMK Kabupaten Sidoarjo.







