Oleh M. FAIL
Masa pandemi virus corona (Covid- 19) belum usai. Hari Kamis-Jumat (30-31/7/2020) saya melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Saya manfaatkan kesempatan untuk memberikan catatan kegiatan ibadah di saat Covid- 19 masih berlangsung seperti sekarang ini.
Rabu malam, pukul 22.30 WIB, saya tiba di hotel Alana, Jl. Palagan Tentara Pelajar-Slemat dan langsung istirahat. Pukul 03.00 (Kamis, 30/7/2020) saya bangun utuk sahur puasa Arafah. Saya hanya minum air karena di hotel tidak tersedia makanan, lantas mandi dan salat sunah.
Ketika mau salat Subuh di masjid seberang hotel (sekitar 100 meter) dari hotel, ternyata masjid baru buka 20 menit menjelang waktu Subuh. Takmir masjid dua lantai ini juga mempercepat menutup tempat ibadah ini.
Masjid berkapasitas sekitar 100 orang tersebut menerapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak. Tetapi tidak semua jamaah menggunakan masker. Kondisi yang sama juga saya rasakan ketika salat Duhur. Masjid dibuka saat azan dan segera ditutup ketika selesai salat. Saya jamak qosor dengan Ashar.
Makam Raaja Mataram
Siang, pukul 14.00, saya berkunjung ke tempat makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul. Saya diterima oleh para juru kunci. Sesuai protocol, masuk makam para raja di situ, saya diminta memakai kemben (jarit batik), baju lengan panjang bergaris (ciri khas kerajaan) dan memakai blangkon. Aturan lain, tidak boleh menggunakan alas kaki (ngebak) dan tidak boleh mengambil gambar.
“Wah gawat wartawan gak boleh motret,” saya membatin.
Saya dipandu dan masuk komplek makam. Di dalamnya terdapat sekitar 40 makam, terdiri atas makam raja Mataram dan keluarganya. Ada satu makam yang tidak lumrah, satu makam terbelah menjadi dua. Bagian kepala masuk komplek makam. Sedangkan bagian badan dan anggota tubuh lainnya di luar komplek.
Semua makam terlihat mewah. Tinggi batu nisan yang terbuat dari marmer abu-abu gelap itu lebih dari 50 cm. Bahan marmernya, menurut penuturan juru kunci, didatangkan dari Itali. Sebagian terlihat lebih mewah karena ada bilik dengan hiasan sebagaimana umumnya singgahsana raja.
Saya diajak berdoa dengan pengantar penjelasan, “Tujuan ziarah mengenang para raja. Kalau di sini ada bunga-bunga, tujuannya untuk memberikan aroma harum,” kata pemandu.
Doa dibaca seperti umumnya kita berdoa untuk orang meninggal: Allahummaghfirlahu…. Selesai ziarah, saya bayar sewa baju Rp 35.000.
Subuhan dan Idul Adha
Perjalanan saya lanjutkan ke salah satu desa lawas di Bantul. Saya bermalam di situ. Tinggal di salah satu rumah warga. Saya tiba di desa tersebut pukul 21.20. Terdengar suara takbir dari dua masjid, tapi tidak lama, karenapukul 22.00 suara takbir sudah tak terdengar. Saya tidur dan bangun, Jumat (31/7/2020) pukul 01.00, lalu mandi dan salat. Pukul 03.00 saya pergi ke masjid dan tidak tahu ke masjid mana karena gema takbir terdengar dari banyak arah. Saya pilih suara paling keras dengan anggapan itu masjid terdekat.
Ternyata tidak, karena perjalanan saya tidak cepat sampai. Sejenak saya berhenti dan mencoba mendengar suara takbir yang terdengar lebih dekat. Ketemu. Masjid berkapasitas sekitar 150 jamaah tersebut ada di dalam kampung. Ada empat orang duduk di gelaran karpet di halaman masjid, sepertinya disiapkan untuk limpahan jamaah salat idul adha.
Disamping masjid ada tiga ekor sapi ukuran besar warna coklat, hampir sama dengan sapi Via Valen seberat 1,3 ton. Awalnya saya sempat khawatir, karena di jalan menuju masjid ada baner ukuran 1 x 1,5 meter bertuliskan, “Masjid hanya untuk jamaah warga setempat.”
Bismillah, saya masuk masjid. Ada dua tempat cuci kaki. Satu tempat terisi air kedalaman kurang dari tujuh cm dan satu lagi terisi air sekitar 10 cm. Saya masuk masjid dan belum ada jamaah. Kumandang takbir terus bergema. Tiba saat salat Subuh. Jamaah jaga jarak dan tidak menggunakan masker. Salat Subuh dengan qunut pendek (standar). Salam dan ditutup dengan bacaan al Fatihah, tanpa doa bersama. Selesai dan buyar.
Salat Idul Adha tidak bisa di tempat Salat Subuh. Warga setempat mengajak saya salat di tempat terbuka, di jalan dan halaman terbuka. Saya salat bersama sekitar 50 warga setempat. Sebagian besar menggunakan masker dan ada yang bersalaman, termasuk imam salat.
Sebelum memimpin salat, imam mengingatkan, bahwa salat Idul Adha dua rakaat. Rakaat pertama takbir tujuh kali dan rakaat kedua takbir lima kali. “Tidak ada qunut dan lain-lain. Jadi masih tetap seperti biasa, tidak ada perubahan. Begitu barusan saya cek tidak ada perubahan,” kata imam salat.
Sementara khatib yang usianya lebih muda dari imam salat menyampaikan khutbah, bahwa ada empat pesan dalam peristiwa Idul Adha. Keempatnya adalah: Nabi Ibrahim menguatkan keimanan kepada Allah, mematuhi perintah Allah, membuka komunikasi atau berdialog dengan anak sebagai tuntunan sikap kepemimpinan, dan ikhlas dalam beribadah. Khutbah tanpa takbir tersebut ditutup dengan doa bersama dan selesai. Buyar.
Salat Jumat Gaya Karantina
Mungkin hanya sekali saya alami selama hidup ini, Jumatan dikarantina. Dalam perjalanan pulang balik Yogyakarta-Surabaya, Jumat (31/7/2020) saya mendekati pintu masuk tol Bawen pukul 09.40. Saya khawatir masuk tol dan tidak bisa Jumatan. Saya putuskan mampir ke pusat perkebunan Hortimart Bawen, Semarang. Sekitar satu jam saya keliling perkebunan seluas 20 hektar tersebut. Bayarnya Rp 20.000 bonus jeruk keprok dan keliling perkebunan aneka buah dan sayur-sayuran.
Ketika masuk salat Jumat, saya tidak segera masuk di masjid berkapasitas sekitar 150 jamaah tersebut. Saya baca situasi. Saya masuk setelah di dalam ada dua baris terisi jamaah. Untuk masuk masjid disediakan tiga pintu masuk. Satu pintu untuk jamaah perempuan dan dua pintu untuk jamaah laki-laki. Tetapi, hari itu hanya dibuka satu pintu untuk jamaah laki-laki.
Di depan pintu sudah ada tiga petugas. Satu membawa alat pengukur suhu badan (thermogun). Dua yang lain membawa handsanitizer dan penjaga pendamping. Semua memakai masker.
“Ke sini pak,” kata petugas mengajak saya keluar dari dalam masjid dan memberi ruang di teras samping barat masjid bersama satu bapak dengan satu anak usia SMP.
Semua jaga jarak. Khutbah dan salat dilaksanakan secara cepat. Habis salat, tanpa doa bersama. Saya meninggalkan masjid setelah 99 persen jamaah sudah di luar masjid.
Pandemi Covid -19 membuat kita semua prihatin. Yogyakarta kota pendidikan yang biasanya riuh dengan ribuan mahasiswa, sekarang Nampak hening, sepi. Malioboro yang dulunya sesak dan macet, sekarang kosong oblong-oblong.
Ya Allah segerakanlah pandemi Covid -19 hilang dari negeri kami. Agar kami semua bisa ibadah secara maksimal dan sempurna. Kami bisa bekerja tanpa was-was. Anak-anak kami bisa sekolah dan kuliah seperti biasa. Kabulkan doa kami, aamiiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.(*)
*) Penulis adalah jurnalis dan dosen Stiamak Barunawati Surabaya.







