SURABAYA (Radarjatim.id) – Banyak orang yang tak peduli definisi. Mereka menganggap definisi cuma urusan teori, yang penting adalah praktiknya. Padahal dengan berbekal definisi yang jelas maka orang akan punya acuan dan pedoman arah yang pasti.
Itulah yang agaknya terjadi pada istilah desa wisata yang sedang populer saat ini. Banyak pihak yang tidak bisa membedakan antara desa wisata dengan wisata desa. Semua pukul rata sama saja. Implikasinya adalah kerancuan yang sangat merugikan.
“Desa wisata memang konsep baru. Desa wisata berbeda dengan wisata konvensional,” kata Adi Hasto Utomo, Wakil Ketua Bidang Pariwisata Pokdarwis Jawa Timur, narasumber dalam acara CafeINSIGHT yang diselenggarakan oleh DPP INKINDO Jatim secara daring, Senin (7/3) kemarin. Membahas tema Bagaimana Merencanakan dan Mengembangkan Desa Wisata?
Menurut Adi Hasto banyak orang, bahkan kalangan pemerintah, yang tidak sepenuhnya paham dengan konsep desa wisata. Akibatnya miris. Apalagi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa tengah mencanangkan seribu desa wisata di Provinsi Jawa Timur.
Kalau membuat destinasi wisata dipersepsi secara konvensional sebagai membuat kolam renang, maka nanti bakal ada seribu kolam renang baru di Jawa Timur. Padahal tidak seperti itu. Jadi, selesaikan dulu definisinya secara jelas, baru kemudian melangkah,” katanya mengingatkan.
Dikatakan, desa wisata seharusnya justru berangkat dari sisi potensi apa yang dimiliki desa yang bersangkutan. Jadi, tidak mengada-ada dengan membuat sarana prasarana buatan baru seperti apa umumnya.
“Desa wisata itu mestinya menjual aspek ALUI yaitu asli, lokalitas, unik, dan indah. Oleh karena itu jika hendak membuat desa wisata, harus dikenali dulu desanya, kenali pasarnya, trennya, juga posisi geografisnya,” katanya. Dicontohkan desa wisata Sumber Podang yang keren. Meski jaraknya dari alun-alun Kota Kediri cuma sekitar 15 km, tetapi sudah bisa membuat wisatawan merasakan nuansa desa di sana.
Dirinya menyayangkan tindakan birokrat daerah yang kadang bermaksud baik mendukung desa wisata tetapi justru keliru. “Mereka menyumbang water heater (pemanas air) atau spring bed. Ini melenceng dari konsep wisata desa. Sebab yang mau dijual itu experiencenya, pengalaman merasakan tinggal di desa,” katanya.
Di Pujon Kidul, Kab. Malang ada desa wisata yang mengutamakan keaslian alam, panorama gunung, dan menghadirkan dolanan anak-anak. Ada juga Kampung Wisata Ekologis Puspo Jagad, Kab. Blitar yang sukses menyajikan budi daya tanaman dan peternakan. Tapi ironisnya, oleh pengunjung awam destinasi itu malah dikomentari, “mana tempat wisatanya?”
Menurut Adi, posisi geografis dapat menjadi poin penting untuk mendongkrak keberhasilah desa wisata. Hal itu dibuktikan oleh desa wisata Gubuk Klakah yang mendapatkan berkah karena posisinya dekat dengan wisata yang sudah mendunia yaitu Gunung Bromo. (rio)








