DAVOS (RadarJatim.id) — Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengingatkan, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) benar-benar bisa menjadi solusi bagi perekonomian dunia yang kini dilanda inflasi tinggi. Hal itu disampaikan dalam salah satu panel diskusi yang disponsori Channel News Asia (CNA) yang bertema “The Biggest Trade Deal in the World”.
Tingginya tingkat inflasi itu akibat adanya hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang. Selain itu, juga karena tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mestinya.
“Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik,” tegas Mendag Lutfi yang cukup mengejutkan panelis lainnya.
Dikatakan, tingginya harga komoditas dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia, India, Brasil dan Tiongkok untuk menikmati keuntungan lebih. Hal ini. lanjut Mendag Lutfi, ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia.
“Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara, misalnya Tiongkok karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda,” tandasnya.
Hal yang dimaksud standar ganda oleh Mendag Lutfi adalah negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia. Itu terjadi ketika mereka kurang diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu, misalnya Tiongkok. Padahal, dahulu ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasar mereka.
“Harus ada kebersamaan dan kesetaraan kesempatan dalam perdagangan bebas dunia,” kata Mendag Lutfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2022).
Mendag Lutfi sempat berdebat cukup tegang dengan panelis lainnya yaitu CEO Suntory Holdings, salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di dunia asal Jepang, Tak Miinami. Sang CEO menyatakan pesimistis dengan situasi perdagangan dunia saat ini, khususnya karena Tiongkok yang saat ini menutup pasarnya karena kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China Xi Jin Ping.
Mendag Lutfi menyayangkan pandangan tersebut apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju. Menurut Mendag Lutfi, dunia harus mengakui fakta, bahwa ketika Tiongkok mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.
“Kami di Indonesia sangat merasakan betul manfaatnya. Apalagi Tiongkok juga menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini,” tegas Mendag Lutfi.
Padahal, lanjut Mendag Lutfi, Tiongkok baru bergabung dengan WTO di tahun 2001. Tapi, katanya, manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan 40 tahun lebih sejak perdagangan dunia didominasi oleh kapitalisme Barat.
“Biarkan harga pangan tinggi saat ini menjadi sinyal agar petani dan peternak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, meningkatkan produksi, sehingga nantinya harga akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,” tegas Mendag Lutfi.
RCEP Peluang dan Katalis
Mendag Lutfi mengatakan, RCEP berpotensi memperbaiki tata niaga perdagangan dunia. Dari yang sebelumnya berbasis akumulasi dan konsentrasi kemakmuran, menuju tata niaga baru yang meratakan kemakmuran dan menciptakan kesejahteraan bersama.
RCEP sebagai perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia diikuti oleh 10 negara ASEAN ditambah Australia, Selandia Baru, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. RCEP adalah kerja sama perekonomian pertama di dunia yang memiliki Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan sama-sama menjadi anggota.
“Perdagangan bebas tidak harus berdasarkan persaingan bebas. Melainkan bisa juga dicapai melalui kolaborasi yang non diskriminatif atau inklusif. Sudah ada bukti keberhasilannya yaitu ASEAN,” tandas Mendag Lutfi.
Model komunitas ekonomi bersama yang inklusif dan kolaboratif sudah dibuktikan keberhasilannya oleh ASEAN yang saat ini merupakan perekonomian terbesar kelima di dunia dengan total produk domestik bruto (PDB) mencapai USD3,3 triliun dan total populasi masyarakatnya 630 juta orang. Padahal kesepuluhnegara ASEAN memiliki latar belakang, bentuk pemerintahan, bahkan sistem perekonomian yang sangat beragam.
“Di belahan dunia lain justru menciptakan pertentangan bahkan perang dingin. Di ASEAN kami merajutnya menjadi persatuan, kesejahteraan bersama, dan kolaborasi untuk berperan lebih bagi perekonomian dunia,” tambah Mendag Lutfi. (sto)







