SURABAYA (Radarjatim.id) – Mengapa siklus kerusakan infrastruktur jalan terus berulang? Padahal perbaikan dan preservasi sudah dilakukan berkali-kali, dengan anggaran yang digelontorkan tiada henti? Ini pertanyaan usang tetapi celakanya tetap saja faktual hingga sekarang.
“Jawabnya adalah karena kita tidak berusaha mencari akar masalahnya. Kalau kita saling menyalahkan, maka kita akan lepas dari akar masalah. Kalau kita hanya menyelesaikan masalah hilir maka siklus kerusakan dan perbaikan jalan ini akan terus berulang sampai nanti,” kata Prof Dr Ir Agus Taufik Mulyono, MT, IPU, ASEAN Eng, guru besar Universitas gajah Mada, dalam webinar bertajuk Peran Profesi Insinyur dalam Inovasi Strategi Migitasi-Adaptasi Perubahan Iklim dan Kerentanan Bencana untuk Preservasi Infrastruktur Jalan, Kamis (14/7) siang.
Dalam webinar yang diselenggarakan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Jawa Timur tersebut, selain Prof Dr Ir Agus Taufik M. juga tampil narasumber Ir. Thomas S. Aden, M.Sc.Eng, IPU, ASEAN. Eng. Acara diikuti oleh 900 lebih peserta secara daring ditambah sejumlah peserta lain yang mengikuti melalui kanal Youtube.
Dalam paparannya Prof Agus Taufik menegaskan bahwa penyebab utama kegagalan fungsi bangunan jalan adalah faktor eksternal. Repotnya, faktor ekternal tersebut tidak mudah diatasi, karena berada di luar kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Keadaan semakin berat karena masih ditambah lagi dengan masalah internal yang juga menjadi pemicunya.
“Masalah jalan memang lebih kompleks dibanding masalah bangunan gedung. Oleh karena itu analisis akar masalah penyebab kerusakan jalan harus didekati dengan multidisiplin, terutama lokasi di bawah tanah dasar. Perlu melibatkan disiplin ilmu geografi, geologi, geofisika, geoteknik, dan road engineering,” kata pakar bidang road asset management, road preservation, transportation engineering ini.
Kemudian Prof ATM, panggilan akrabnya, menunjukkan faktor-faktor eksternal yang memang kompleks dan saling kait-mengait. Pertama, masih maraknya kendaraan barang dengan muatan melebihi kapasitas atau ODOL (over dimension over loading). “Kasus ini masih sulit dikendalikan karena moral hazard dan denda yang amat murah. Juga atas alasan relaksasi ekonomi demi pertimbangan stabilitas harga komoditas,” kata Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia ini.
Faktor kedua adalah genangan banjir spasial yang sampai kini masih lamban solusinya. Ketiga, loading time yang tanpa solusi. Keempat, moda share yang masih timpang. Beban berat tugas pengangkutan barang secara nasional masih ditanggung oleh moda angkutan darat jalan raya yaitu sebesar 75,3%.
“Faktor kelima masih adanya gangguan pada rumaja (ruang manfaat jalan), rumija (ruang milik jalan), dan ruwasja (ruang pengawasan jalan) yang tanpa eksekusi yang tegas,” kata Prof ATM yang juga menjabat di Bidang III LPJK itu.
Sedang faktor internal yang berpotensi menimbulkan kegagalan fungsi bangunan jalan nasional antara lain berkait dengan kompetensi para penyedia jasa serta kurangnya monitoring dan evaluasi. Selain itu manajemen pengguna jasa yang masih berorientasi pada serapan anggaran. Masih terjadi ketidakpatuhan terhadap standar mutu disertai dengan sanksi yang ringan bila kasus tersebut terbongkar. “Kecelakaan konstruksi dan kegagalan bangunan seringkali juga masih lambat dieksekusi,” katanya.
Implikasi dari kompleksitas problem teknis penyebab kegagalan fungsi bangunan jalan itu tidak lain adalah durabilitas menjadi rendah, polusi tinggi, defisiensi tinggi, travel time tinggi, BOK tinggi, dan potensi konflik sosial yang juga tinggi. “Akibatnya pengguna jalan belum merasakan selamat, sehat, damai, dan sejahtera. Dengan kata lain jalan kita masih belum humanistis,” katanya. (rio)




