Oleh DYAH EKA KURNIAWATI, STr Kes
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan tropis, yang selain memiliki kekayaa hasil bumi melimpah, juga berada dalam circle wilayah yang rawan terhadap bencana alam. Hal itu karena letak geograsinya berada di zona ring of fire yang terdapat banyak gunung api masih aktif.
Belakangan ini, di Indonesia kejadian bencana yang merenggut nyawa semakin meningkat. Fenomena ini tidak lepas dari banyaknya pemberitaan di media massa ataupun media online yang sering memuat berita mengenai gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
Selain bencana alam, ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia, seperti jatuhnya pesawa, ledakan kapal, kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan banyak korban. Semisal jasad korban masih dalam keadaan utuh/baik, pemeriksaan dengan sidik jari masih bisa menjadi opsi pertama yang dilakukan oleh tim INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System)) Polri. Sebab, tidak ada dua manusia yang memiliki sidik jari persis sama kendati kembar identik sekalipun.
Unit INAFIS selalu mengandalkan sebuah alat yang memeriksa sidik jari menggunakan MAMBIS (Mobile Automated Multi- Biometric Identification System). Perangkat ini menyerupai mesin kartu kredit dengan pemindai di atasnya, serta mampu mengidentifikasi data-data jasad tak dikenal melalui sidik jari maupun retina mata. MAMBIS juga sudah terintegrasi dengan basis data e-KTP. Setiap sidik jari yang diletakkan di alat pemindai MAMBIS, secara otomatis akan keluar data idenitas korban sesuai rekam data saat pembuatan e-KTP terbaru.
Lalu bagaimana peran DVI untuk mengidentfikasi korban kasus jatuhnya pesawat yang disebabkan oleh ledakan. Dalam kecelakaan demikian, bisa saja anggota tubuh sudah tidak lengkap seperti semula dan sulit dikenali sebagaimana keadaan tubuh terpisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, atau terlebih jika jari-jari korban sudah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh pembusukan? Masalah akan timbul ketika tindakan termudah dalam proses identifikasi secara visual sudah tidak dapat lagi digunakan. Tentu hal ini akan menyulitkan tim DVI untuk mengidentifikasi siapa korban sebenarnya.
Sebelumnya, mari mengenal lebih jauh proses DVI yang terdiri atas 5 fase :
Dikuti dari Jurnal berjudul Identifikasi Korban Bencana Massal dalam Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences tahun 2012, ada 5 fase dalam indentifikasi DVI, yakni:
- The scene, yang merupakan fase pertama di mana tim awal yang datang ke tempat kejadian perkara (TKP) melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati. Tim juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.
- Post mortem examination, di mana para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data post mortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA.
- Ante mortem information retrieval, yakni fase pengumpulan data ante mortem, dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban. Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan lain-lain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban, data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta sidik DNA apabila keluarga memilikinya. Apabila tidak ada data sidik DNA korban, maka dilakukan pengambilan sampel darah dari keluarga korban.
- Reconciliation, yakni fase ditemukannya kecocokan antara data ante mortem dan post mortem dengan kriteria minimal 1 macam ante mortem primer atau 2 macam ante mortem sekunder Di sini bisa dikatakan, proses identifikasi berhasil dilakukan baik dengan maksimal atau tidak.
- Debriefing adalah fase yang dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi.
Selain itu, untuk mendukung proses identifikasi DVI, Interpl juga telah menetukan adanya primary identifier yang mencakup pemriksaan fingerprint, dental record (DR), dan DNA sebagai gold standard yang dipakai hingga kini. Selanjutnya ada secondary identifier yang terdiri atas medical (M), property (P), dan photography (PG).
Pemeriksaan dengan sidik jari akan sulit atau tidak mungkin dilakukan karena faktor pembusukan. Maka, anggota tubuh yang bisa menjadi pilihan lain adalah gigi, karena gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia bahkan bila kondisi jenazah sudah terbakar, membusuk atau rusak sekalipun. Dengan pemeriksaan gigi, ahli odontologi forensik bisa mengetahui identitas seperti jenis kelamin, bentuk wajah, umur, ras, dan ciri khas lainnya.
Selanjutnya adalah pemeriksaan DNA yang sangat potensial yang di zaman modern sekarang ini sudah dikenal secara luas sebagai cara dentifikasi dalam ranah forensik. Cara ini adalah langkah terakhir jika pemeriksaan sidik jari dan gigi tidak ditemukan. Tes DNA diilai sangat akurat karena pola materi genetic tiap individu tidak sama karena sekuen DNA terususn dari kobinasi basa nitrogen yang beragam. Selain itu karena keunggulannya karena hanya dibutuhkan sedikit saja yang dan dapat diperoleh dari semua sel berinti di seluruh tubuh. {}
*) DYAH EKA KURNIAWATI, STr Kes, Mahasiswa Ilmu Forensik, Fakultas Pasca-Sarjana, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.







