Oleh Fahmida Azzahra
Membeli buku bajakan menjadi fenomena yang sangat lumrah di Indonesia, terutama bagi konsumen yang secara ekonomi tergolong terbatas. Dengan pertimbangan nilai ekonomi, baik dari kalangan remaja maupun dewasa, mereka lebih memilih membeli buku bajakan dengan harga yang pasti lebih murah ketimbang buku cetakan asli.
“Ngapain beli buku yang asli. Selain mahal harganya, toh nanti kebacanya cuma sekali. Kan mending beli yang bajakan, pasti murah”.
Itulah di antara alasan yang kerap terdengar ketika ditanya mengapa seseorang lebih suka membeli buku bajakan ketimbang yang orisinal atau asli. Di sisi lain fakta menunjukkan, bahwa dari harga buku-buku asli yang harganya relatif mahal itu, royalti yang diterima penulisnya cuma sekitar 10%, belum lagi beban untuk bayar pajaknya.
Bayangkan, hanya 10% yang dikantongi penulis dari hasil penjualan buku-bukunya yang terbit secara legal. Itu tidak sebanding dengan energi dan pikiran yang dicurahkan penulis untuk bisa menyelesaikan hingga menerbitkan buku karya tulisnya. Kalau lebih banyak orang yang lebih memilih membeli buku bajakan daripada buku yang asli, lalu berapa potensi royalti penulis yang hilang karena aksi membeli buku bajakan?
Salah satu penulis terkenal di Indonesia, Tere Liye, sudah berkali-kali mengungkapkan kritiknya terhadap praktik pembajakan buku, termasuk juga kecenderungan orang memilih membeli dan mambaca buku bajakan. Di akun Instagram-nya, Tere Liye juga sering mengunggah ketidakrelaannya terhadap mereka yang lebih suka membeli dan membaca buku bajakan ketimbang buku asli.
Tapi sayangnya, apa yang dilakukan Tere Liye itu dianggap remeh dan angin lalu oleh sebagian besar kalangan. Umumnya para pihak tidak mempermasalahkan maraknya pembajakan buku, termasuk tren membaca buku bajakan. Sebab, yang lebih mereka butuhkan adalah konten atau isi bukunya, bukan bukunya yang bajakan atau tidak. Bahkan, marketplace-pun tidak bersedia menghapus toko-toko atau penjual buku bajakan. Mereka justru membuat kaya para penjual buku bajakan, meski hal itu nyata-nyata merugikan penulisnya.

Itu salah satu unggahan di Instagram Tere Liye. Wajar saja jika penulis sekelas Tere Liye melakukan tindakan seperti itu. Sebab, maraknya buku bajakan memang merugikan penulis karena besarnya potensi royalti yang hilang. Buat apa susah-susah menulis jika akhirnya masyarakat lebih suka membeli buku bajakan.
Membeli buku asli merupakan bentuk penghargaan kepada penulisnya. Sealin itu, konsumen juga mesti bisa memahami perasaan penulis jika ternyata banyaknya buku yang beredar adalah bajakan. Bagaimana jika penulis memutuskan mogok menulis dan tidak mau menerbitkan buku lagi? Para pembaca tentu juga akan merugi karena tidak lagi menerima pasokan pengetahuan atau nilai yang mestinya bisa didapat dari membaca buku.
Lalu, mengapa masih banyak yang membajak buku? Ini terjadi karena selama ini tidak ada tindakan tegas terhadap pelakunya. Payung hukum yang berlaku juga tidak terlalu “membela” penulis, sehingga peredaran buku bajakan tetap saja marak. Kalaupun ada aturan main, misalnya produk perundang-undangan yang mengatur, penerapannya di lapangan juga tidak maksimal.
Sebenarnya, kalaupun konsumen tidak mampu membeli buku asli, tidak perlu membeli buku bajakan. Upaya menimba pengetahuan atau informasi bisa tetap dilakukan dengan membaca buku-buku di perpustakaan atau rumah-rumah baca. Bisa juga meminjam buku milik teman atau sahabat sevara gratis. Itu bisa dilakukan dengan gampang ketimbang membeli buku bajakan yang jelas-jelas merugikan penulisnya.
Seharusnya pemerintah merespon dan menindaklanjuti fenomena maraknya peredaran buku bajakan. Atau paling tidak, menurunkan pajak kertas untuk cetak buku sebagai stimulus untuk memperbanyak peredaran buku asli, karena imbasnya pada harga buku yang lebih murah. Dan yang lebih penting, memberikan pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat konsumen buku, bahwa membeli dan membaca buku bajakan punya andil terhadap tindakan yang merugikan penulisnya.
Kita berikan penghargaan kepada penulis dengan cara senantiasi membeli dan membaca buku asli. Sebaliknya, kita minimalkan peredaran buku bajakan dengan meninggalkan kebiasaan membeli dan membacanya dengan penuh kesadaran. {*}
*) Penulis adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Modern Al-Rifa’ie Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur.







