Oleh Dinar Fidelma Ramadhani
Di era digital saat ini, penggunaan teknologi tidak dapat terhindarkan dalam kehidupan
sehari-hari. Gadget menjadi salah satu teknologi yang dirasa sudah tidak dapat lepas dari genggaman tangan kita. Segala informasi yang ada di seluruh penjuru dunia, dapat kita lihat dan dapatkan hanya melalui alat yang satu ini. Tak dapat dimungkiri pula, informasi-informasi tersebut dapat diakses oleh masyarakat luas, salah satunya melalui media sosial.
Menurut Nasrullah (2015), media sosial merupakan media yang menjadi wadah penggunanya untuk mengekspresikan diri,
serta berkomunikasi dan membentuk ikatan sosial secara virtual. Media sosial juga menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengetahui berbagai isu maupun fenomena yang terjadi dalam kehidupan sekitar. Salah satu isu yang sering dibahas adalah isu kesehatan.
Banyak content creator yang memberikan bahan berisi edukasi mengenai kesehatan.
Mulai dari bagaimana cara menjaga kesehatan hingga pengobatan yang dapat dilakukan sebagai upaya penyembuhan suatu penyakit. Tentu kita berpikir, bahwa adanya informasi semacam ini
memudahkan untuk lebih care and protect terhadap diri sendiri dalam menjaga kesehatan.
Namun, di sisi lain, maraknya konten-kesehatan di media sosial juga memicu masyarakat memiliki pemikiran, bahwa mereka dapat mendiagnosis diri sendiri dan terdorong untuk melakukan pencarian secara mandiri, tanpa berkonsultasi kepada tenaga ahlinya.
“Aduh, kayaknya aku kena anxiety disorder nih, kalo kondisi rame gini rasanya ga nyaman banget.”
Tak jarang kita mendengar seseorang berkata seperti itu. Hal tersebut merupakan salah satu contoh yang disebut sebagai self– diagnose. Menurut White dan Horvitz (2009), self–diagnose ialah upaya seseorang dalam memutuskan, bahwa dirinya sedang mengidap suatu penyakit berdasarkan informasi yang diketahui secara mandiri. Self–diagnose biasanya berawal dari rasa
ingin tahu seseorang mengenai gejala-gejala yang sedang dirasakan. Ketakutan akan diagnosis yang lebih buruk dari ahlinya, seperti dokter juga menjadi salah satu alasan seseorang melakukan self–diagnose.
Dari sanalah, konten-konten kesehatan yang bertebaran di media sosial dijadikan referensi oleh masyarakat untuk mendiagnosis penyakit atau hal yang sedang mereka alami dan rasakan. Tanpa disadari, masyarakat kebanyakan menyerap informasi-informasi tersebut hanya berdasarkan pada apa yang ada di dalam konten sesuai dengan apa yang mereka alami. Tak sedikit pula, konten-konten kesehatan seperti ini juga dibumbui dengan pengalaman pribadi sang contentcreator, sehingga nampak lebih meyakinkan bagi para pengguna media sosial.
Lalu, sebenarnya self–diagnose ini berbahaya atau tidak? Self–diagnose padadasarnya merupakan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Namun, banyak dari
masyarakat menyalahartikan self–diagnose ini. Dalam mendiagnosis suatu kelainan maupun penyakit dalam tubuh, kita tidak bisa hanya sebatas mengamati dari luar saja atau bahkan hanya mendengarkan pengalaman dari orang lain. Proses dalam tubuh manusia jauh lebih kompleks daripada itu.
Self–diagnose dikatakan tindakan yang berbahaya karena beberapa alasan. Pertama, seseorang yang mencoba mendiagnosis diri sendiri mungkin tidak memiliki pengetahuan atau keahlian medis cukup yang secara akurat dapat mengidentifikasi gejala yang mereka
alami. Hasilnya, seseorang yang mendiagnosis diri sendiri secara tidak tepat bahkan keliru, justru akan memperburuk kondisi yang mereka alami, karena salah penafsiran gejala.
Kedua, self–diagnose juga dapat menyebabkan stress hingga kecemasan yang berlebihan. Seseorang dapat menjadi terlalu khawatir mengenai kesehatan mereka dan mulai memengaruhi
kondisi psikis, emosi, hingga pikiran yang dapat memperburuk kondisi tubuh mereka. Selain itu, self–diagnose juga dapat menunda pengobatan medis yang sebenarnya diperlukan.
Apabila seseorang mendiagnosis diri sendiri, ada kemungkinan mereka akan menunggu hingga gejala menjadi lebih parah sebelum akhirnya mencari bantuan medis profesional. Hal ini justru
memberikan risiko yang lebih berbahaya, misalnya dapat menimbulkan komplikasi hingga kondisi yang lebih sulit untuk diobati.
Ketiga, self–diagnose juga dapat mengantarkan seseorang dalam melalukan pengobatan yang salah. Jika seseorang tidak mendiagnosis diri sendiri dengan benar, mereka mungkin mengejar pengobatan yang tidak efektif. Hal ini sering terjadi di kalangan masyarakat yang
banya mendiagnosis secara mandiri untuk mendapatkan pengobatan yang jauh lebih murah. Tentu, pengobatan yang murah dapat meningkatkan risiko yang cukup berbahaya bagi tubuh apabila tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya diperlukan.
Tindakan self–diagnose sudah seharusnya dihindari. Melihat dari banyaknya dampak
buruk yang didapat dengan melakukan self–diagnose, sudah sepatutnya menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menjaga diri sendiri. Ketika kita merasakan hal aneh
yang terjadi pada diri kita, alangkah baiknya segera konsultasikan kepada tenaga ahli profesional,
seperti dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Selain itu, masyarakat yang juga
mengonsumsi konten-konten di media sosial dan harus lebih bijak dalam memilah informasi. Dengan demikian, dampak-dampak buruk yang dapat menimpa, dapat terhindarkan. (*)
*) Dinar Fidelma Ramadhani, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga.







