Oleh Moh. Husen*
Telinga ini sangat tidak enak kalau mendengar orang miskin dipojokkan sedemikian rupa sebagai orang yang lemah iman. Ini terjadi saat ia menerima amplop berisi uang 50 ribu atau 100 ribu rupiah agar bersedia memilih calon kepala desa, kepala daerah, wakil rakyat, atau bahkan mungkin presiden berdasarkan arahan amplop.
Jadi orang miskin itu susah dan tidak enak. Semua orang berusaha keras menghindarinya. Kalau ia pinjam uang, itu sudah dipikir puluhan kali: bertarung dengan rasa malu, takut nggak dipinjami, serta kemungkinan diceramahi hal-hal yang banyak dilanggar terang-terangan oleh orang kaya.
Belum lagi kalau ditagih utang. Ia (orang miskin itu) harus “bertelanjang bulat” mengenai anak istrinya yang terkadang kelaparan. Baju anaknya sudah nggak muat tapi nggak mampu beli. Utangnya di sana-sini juga nunggak, serta berbagai hal darurat lainnya yang tak pernah dimengerti orang lain. Pokoknya punya utang itu dicap serba salah, terkutuk, dan bahkan hina.
Sedemikian susah dan repotnya jadi orang miskin, kalau masih harus dihina lemah iman, hanya karena menerima uang 50 ribu atau 100 ribu rupiah. Sepertinya kita terlalu “kejam” kepada mereka. Belum lagi jika mereka kita anggap sebagai–mohon maaf–“pelacur politik” yang bersedia disuruh apa saja dengan harga yang sangat murah.
Mereka bisa hidup begitu saja sudah ajaib. Entah bagaimana caranya mereka menyambung hidup. Namun yang jelas hingga hari ini, mereka orang-orang miskin itu masih terus hidup, tanpa kita bisa mendeteksi bagaimana dan siapa saja yang telah membantu mereka untuk tetap survive hidup.
Alangkah mulia bagi siapa saja yang telah menolong mereka. Kita jadi buntu memandang mereka. Kita terbukti tak sanggup mengentaskan mereka. Akibatnya, kita kagum dan bergumam sendiri dalam hati: “Ya Allah, jangan-jangan orang-orang miskin itu adalah para sufi kekasih-Mu.”
Terlebih lagi kita tahu, bahwa di surga nanti Kanjeng Nabi Muhammad SAW minta dikumpulkan bersama orang-orang miskin. Meskipun kita juga tahu, bahwa di dunia ini yang suka mengalah, sering menyapa kita duluan, takut membantah, mudah sekali memaafkan dan mendoakan kita adalah orang-orang miskin.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang logis untuk tidak menolong mereka dan mencintai mereka. Ah, jangan-jangan mereka itu adalah para sufi kekasih Allah betulan dan kita-kita yang “kotor-kotor” ini perlu mendapat restu berlutut di kaki perjuangan hidup mereka.
Tolonglah mereka agar tak lemah iman. Jika masih belum mampu menolong mereka, mohon jangan menghinanya. Semoga dengan usaha dan doa, nasib mereka bisa berubah. {*}
Banyuwangi, 11 Juni 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Rogojampi-Banyuwangi.







