SIDOARJO (RadarJatim.id) – Rekomendasi Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Banggar DPRD) Kabupaten Sidoarjo terkait sengketa kerjasama parkir antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo dengan PT Indonesia Sarana Service (ISS) agar diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat mulai mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam laporan Banggar yang dibacakan oleh juru bicaranya, M. Rojik terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda Sidoarjo) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022 yang disampaikan dalam rapat paripurna pada Senin (03/07/2023) lalu, Banggar meminta pada kedua belah pihak untuk bermusyawarah demi mencapai kesepakatan bersama sesuai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan Jawa Timur (BPK Jatim).
Tidak hanya itu saja, Banggar DPRD Kabupaten Sidoarjo juga meminta pada BPK RI untuk melakukan audit khusus terhadap titik-titik parkir yang selama ini dikelola oleh pihak-pihak tertentu diluar PT ISS.
Hasil audit itulah yang akan menjadi rujukan bagi Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan tindakan tegas, jika ditemukan potensi kerugian negara dari hasil pungutan parkir yang tidak dilaporkan dengan baik.
“Apa yang menjadi dasar pertimbangan Banggar (DPRD Kabupaten Sidoarjo, red) sebelum mengeluarkan rekomendasi tersebut,” kata Badruzzaman, pengamat politik dan pemerintahan Sidoarjo, Kamis (06/07/2023).
Ia mengatakan bahwa audit khusus yang dimaksud oleh Banggar DPRD Kabupaten Sidoarjo memiliki tendensi untuk menyederhanakan persoalan parkir yang kompleks dalam sebuah instrumen alat paksa bernama audit khusus yang selanjutnya mengikutsertakan APH, apabila ada pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum dilingkungan Pemkab Sidoarjo.
“So, apa audit khusus yang dimaksud DPRD dan direkomendasikan tersebut bertendensi untuk menyederhanakan persoalan perparkiran yang kompleks itu dalam sebuah instrumen alat paksa bernama audit khusus yang mengikutsertakan APH pada lanjutannya,” katanya.
Dijelaskan oleh Badruz bahwa dalam terminologi ruang lingkup BPK, pemeriksaan yang dilakukan instansi tersebut mencakup pemeriksaan laporan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang meliputi audit kepatuhan serta audit investigasi. “Sebenarnya siapa yang dibela DPRD?,” tanyanya.
Untuk itu, ia mengusulkan agar obyek audit khusus BPK itu lebih diarahkan kepada berbagai kegiatan yang menghadirkan anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo sebagai narasumber (narsum) diberbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dilingkungan Pemkab Sidoarjo.
“Saya kira itu lebih relevan. Secara kepatutan dan efesiensi belanja yang nilainya justru jauh lebih besar dari hilangnya potensi pendapatan parkir,” tandasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Saiful, praktisi hukum Sidoarjo bahwa penggunaan uang rakyat untuk membiayai kegiatan narsum anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo itu lebih besar bila dibandungkan dengan potensi kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari parkir.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Mamad (GM) itu bahwa untuk menjadi narsum dalam setiap kegiatan, anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo mendapatkan honor sekitar Rp 1,4 juta setiap jamnya.
“Bayangkan saja. Untuk setiap jamnya, para anggota DPRD (Kabupaten Sidoarjo, red) itu dihonor Rp 1,4 juta. Kalau di setiap kegiatan kira-kira 3 jam, maka mereka mendapatkan tambahan penghasilan sebesar Rp 3,57 juta setelah dipotong pajak,” sampainya.
Jika Rp 3,57 juta dikalikan dengan 50 orang anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo dan dikalikan banyaknya jumlah kegiatan yang diikuti, maka angkanya bisa mencapai puluhan miliar rupiah dalam satu tahun anggaran.
Masih menurut GM bahwa tidak selayaknya anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo mengantongi uang dari honor sebagai narsum tersebut, karena kegiatan itu menjadi satu bagian dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya sebagai wakil rakyat.
“Ini namanya double anggaran, karena di struk penghasilan mereka sudah mendapatkan tunjangan komunikasi,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mendapatkan informasi bahwa jatah narsum yang dibagikan oleh pimpinan tidaklah sama antara anggota yang satu dengan anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo lainnya.
“Disparitasnya sangat njomplang. Ada yang mengaku tidak kebagian sama sekali. Ada yang bilang hanya dijatah beberapa kali saja sambil menunjuk nama teman-temannya yang kebanjiran order narsum,” imbuhnya.
Maka dari itu, GM sepakat jika penguapan uang rakyat melalui kegiatan narsum harus dipelototi atau diaudit secara mendalam oleh BPK, daripada masalah parkir yang kini tengah berproses di lembaga peradilan.
Apalagi besaran anggaran dari kegiatan narsum tersebut sangat sulit dideteksi, karena pengalokasiannya dititipkan diberbagai OPD dilingkungan Pemkab Sidoarjo.
“Dan yang bisa melakukan itu hanya BPK,” tegasnya.
Dicontohkan oleh GM bahwa didaerah-daerah lain di Indonesia, seperti Blora dan Tangerang, pengunaan dana narsum DPRD sudah masuk dalam garapan pihak kejaksaan setempat.
“Jadi, periksa juga dong yang di Sidoarjo,” pungkasnya. (mams)







