Oleh HERRY SANTOSO
Fenomena bumbung kosong pada Pilkada 2020 khususnya di Kabupaten Kediri, Jawa Timur belakangan semakin menyeruak atmosfer politik di Bumi Jayabaya ini. Kecenderungan mencoblos bumbung kosong atau kolom kosong –sebagai manifestasi demokrasi– semakin menguat di masyarakat.
Sebabnya, masyarakat umumnya selalu berasumsi: (1) mendambakan seorang pemimpin yang berpengalaman; (2) mempertahankan keberhasilan Kab. Kediri dalam upaya mewujudkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan yang merata; (3) ingin memilih calon pemimpin yang dalam proses penyaringannya benar-benar dilakukan dari bawah dan bukan calon pemimpin drop-dropan/karbitan; dan (4) menjembatani aspirasi masyarakat bawah, yaitu menginginkan seorang pemimpin yang selama ini sudah dikenal oleh rakyat Kediri.
Keempat indikator tersebut yang sejatinya menjadi “ruh” dari suksesi kepemimpinan di daerah ternasuk di Kabupaten Kediri. Sebab, rakyat di daerah ini tidak ingin terjebak istilah buy a cat in a sack (membeli kucing dalam karung) yang pada beberapa kasus demokratisasi di Indonesia hanya akan melahirkan figur pemimpin yang identik dengan pembodohan rakyat dalam belajar berdemokrasi (fooling the people into learning democracy).
Hal itu karena di banyak kenyataan pemimpin drop-dropan tak lebih sekadar tipe pemimpin yang ujug-ujug datang sebagai “pemburu kekayaan” dengan cara menjarah segala potensi yang ada di daerah (the type of ruffian leader who would plunder the wealth of the people).
Bumbung Kosong
Di sisi lain, fenomena merebaknya fenomena bumbung kosong pada Pilkada serektak 2020 khususnya di Kabupaten Kefiri sebagai pertanda, bahwa telah terjadi “kebuntuan demokrasi” lantaran terkooptasi oleh indoktrinasi politik yang bersifat top down (instruksi dari atas ke bawah) yang seolah-olah merampas hak-hak rakyat.
Kebuntuan demokrasi juga cenderung terjadi jika: (a) hanya orang pusat yang merasa paling punya hak mengatur masyarakat di daerah; (b) hanya orang pusat yang merasa paling mampu menentukan nasib masyarakat di daerah; dan (c) jika hak berdemokrasi orang daerah berganti menjadi sebuah kewajiban.
Ketiga indikasi itu yang pada gilirannya tidak mampu mendewasakan demokratisasi lantaran partisipasi politik rakyat “terbonsai” oleh ambisi kelompok, atau perorangan yang mabuk kekuasaan dan itu adalah sebuah malapetaka dalam perjalanan demokrasi. Demokrasi yang digadang-gadang kelak menjadi kanal dalam menuju kemakmuran dan keadilan sosial, alhasil hanya akan menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan!
Guna mereduksi kesewenang-wenangan tersebut, hanya ada satu cara yang “elegan”, yaitu mencoblos bumbung kosong. (*)
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik dan kebudayaan.





