Oleh M. ISA ANSORI
Jalan Tunjungan sudah sangat dikenal oleh banyak orang hampir di seluruh belahan dunia. Jalan Tunjungan menyimpan banyak jejak sejarah perjuangan dan heroisme kota Surabaya. Bahkan, sejarah dipertahankannya kemerdekaan Indonesia pun dilakukan di kota ini, dengan peristiwa perobekan bendera Belanda: Merah Putih Biru menjadi Merah Putih di hotel Yamato yang sekarang bernama Hotel Majapahit.
Mlaku Mlaku Nang Tunjungan, lagu yang dinyanyikan oleh Mus Mulyadi, musisi asli Surabaya, seolah mempertegas betapa melegendanya jalan Tunjungan.
Saat ini wajah jalan Tunjungan semakin modern dengan pernik-pernik lampu dan penataan kanan kiri jalan. Seolah penataan itu mempertegas, bahwa jalan Tunjungan boleh semakin modern dan mengikuti perkembangan zaman. Tetapi, Tunjungan harus tetap menjadi legenda Surabaya.
Nah tahukah Anda, di balik gemerlap jalan Tunjungan saat ini, orang mungkin hanya mengenal ada Gedung Siola di era tahun 1980 an, jalan Tunjungan menyimpan banyak legenda geliat kota Surabaya. Di sebelah ujung Utara jalan Tunjungan pernah ada toko buku legendaris Sari Agung yang berdampingan dengan gedung Siola. Saat itu Siola menjadi pusat perbelanjaan selain toko Nam Embong Malang dan Metro di bagian Selatan jalan Tunjungan.
Bagi mereka yang menjalani masa-masa sekolah tahun 1980-an di Surabaya, maka tak asing dengan Toko Buku Sari Agung. Selain toko buku legendaris itu, di seberangnya ada jalan Tanjung Anom. Di sana pernah ada bioskop yang berjaya pada masanya. Namanya Bioskop Aurora.
Toko Buku Sari Agung dan Bioskop Aurora bagi mereka yang pernah belajar di SMPN 4 atau SMPN 3 Surabaya, keduanya ibarat oase di panas yang kerontang. Kedua tempat itu menjadi tempat favorit bagi para pelajar setelah penat mengikuti kegiatan belajar di sekolah.
Biasanya, selepas jam sekolah, lobby Bioskop Aurora dan Toko Buku Sari Agung jadi jujugan sebelum pulang ke rumah. Saya yang pernah belajar di SMPN 4 Tanjung Anom sempat merasakan betapa sangat menariknya dua tempat itu.
Sambil menunggu waktu pulang, mampir ke Sari Agung hanya sekadar untuk baca-baca dan pulang naik bus kota tumpuk. Sayangnya, dua tempat legendaris yang menjadi simbol keseimbangan antara belajar dan hiburan, sekarang ini semakin tergerus di Surabaya.
Kita tak bisa lagi mendapati jalan Tunjungan sebagai oase keseimbangan bagi warga kota. Surabaya saat ini semakin cantik dan pesolek. Di tengah semakin cantik dan bersoleknya Surabaya, khususnya jalan Tunjungan, telah hilang gairah untuk memberikan kebahagiaan jiwa bagi para pemburu ilmu dan keseimbangan hidup.
Jalan Tunjungan kini pun merana. Ia telah kehilangan ruh mlaku mlaku nang Tunjungan, yang bisa saling sapa antarsesama. Para pedagang kaki lima yang menjadi simbol egaliternya kota Surabaya juga harus terhempas dengan alasan kebersihan dan ketertiban.
Kita tentu berharap agar jalan Tunjungan tetap menjadi oase peradaban Surabaya yang egaliter dan saling bertegur sapa. Kepada pemerintah Kota Surabaya, semoga bisa mengembalikan lagi jalan Tunjungan sebagai ruh peradaban kota Surabaya. (*)
*) Penulis adalah dosen dan Pegiat Sosial Kemasyarakatan di Keluarga Besar Rakyat Surabaya (KBRS).




