Oleh ADRIONO
Tak hanya kesedihan yang dapat menimbulkan rasa haru. Kesuksesan juga punya efek yang sama. Lihatlah, bagaimana air mata kita ikut menetes tatkala tim kesebelasan kesayangan kita menang dalam adu penalti di grand final, atau ketika menyaksikan anak diwisuda atau menikah.
Manusia memang unik. Kebahagiaan dan kesusahan diekspresikan dengan cara yang sama: linangan air mata. Rupanya ada dua jenis keharuan, yaitu haru duka dan haru bahagia.
Tetapi akhir-akhir ini, entah kenapa, mripat saya lebih gampang berkaca-kaca dengan keharuan jenis yang terakhir itu. Tidak lagi hanyut dalam sinetron melow atau cerita fiksi tragedi. Tetapi, justru mudah meleleh dengan pribadi-pribadi yang berjuang menggapai cita atau sosok-sosok yang berbuat kemuliaan bagi sesama.
Seperti ketika Rabu (23/9/2020) pagi saya menyaksikannya di televisi, lalu kutonton ulang di Youtube. Kiprah pendiri sekolah SLB-B Prima Bhakti Mulia di Kota Cimahi, Jabar. Bu Pin Sudiraharti gigih melatih anak-anak tunarungu untuk belajar berbicara dan baca tulis.
Ini jelas sangat sulit, hampir mustahil dari perspektif normatif. Sebab, biasanya anak tunarungu cenderung juga tunawicara. Sebab dia sama sekali tidak pernah mengalami mendengar sedenting pun bunyi-bunyian.
Tetapi, para pendidik di sekolah itu pantang mundur. Diajari siswanya melafalkan huruf dan kosa kata dengan metode oral. Misalnya saat mengajarkan suku kata “ba”, Bu Pipin perlu menggunakan media secarik kertas kecil. Beliau memberikan contoh mengucapkan “ba” sambil tangannya memegang ujung kertas di depan mulutnya.
Otomatis kertas akan berkibar ketika terkena embusan nafas yang dikeluarkan ketika melafalkan “ba”. Lalu masing-masing siswa bergiliran mencoba. Siswa pertama mengucapkan “ba”, terlihat kertas itu bergoyang.
“Bagus sekali,” puji Bu Guru.
Lanjut siswa kedua melakukan hal yang sama. Tapi sayangnya kertas hanya bergetar sedikit. Berarti lafal yang diucapkan kurang sempurna. Untuk kesuksesan “sekecil” itu pun Bu Guru Pipin sudah mengapresiasi dengan acungan jempol.
Berikutnya siswa ketiga mencoba membuka-buka mulutnya, berupaya meniru rekan-rekannya. Tetapi, sayang belum mampu mengeluarkan suara sehingga si kertas tipis pun tidak bergerak sama sekali. Kelihatannya dia belum paham bagaimana caranya bersuara. Jadi, betapa butuh berlapis-lapis kesabaran untuk mengajari anak-anak berkebutuhan khusus itu.
Tentu tak terbilang banyaknya hambatan yang dihadapi guru untuk mengajarkan 26 abjad sebagai perangkat dasar perangkai kata-kata. Bahkan untuk mengajari agar bisa melafalkan huruf “Y” pada kata “ayam”, lidah pada beberapa siswa perlu ditekan pakai spatel, sebuah alat penekan lidah dari stainles mirip sendok.
Berdasar pengalaman guru di sana, yang paling susah diajarkan adalah perbedaan antara konsonan “K” dengan “G”. Maka, sungguh menakjubkan jika kemudian ada siswa yang sudah terampil diajak bertanya-jawab sederhana.
Ketika dilontarkan pertanyaan, dengan artikulasi yang jelas dan tidak tergesa-gesa, “Kamu belajar apa?” Seorang siswa tampan mampu menjawab meski terbata-bata: “ma-te-ma-ti-ka… dan… kom-pu-te.”
Subhanallah. Juga sebuah prestasi yang mengharukan, ketika di antara mereka sudah “fasih” mengucapkan salam, “assalamualaikum.”.
Dalam program Heroes episode “Memecah Sunyi, Meraih Mimpi” itu reporter televisi CNN Indonesia mencoba bertanya kepada Bu Pipin tentang sejauh mana keberhasilan pembelajaran metode oral bagi tunarungu, yang diklaim satu-satunya metode yang diterapkan di Jawa Barat itu.
“Apakah Anda yakin dengan efektivitas metode oral ini?”
“Secara teori tidak meyakinkan,” jawab Pendiri SLB itu berterus terang. “Tetapi justru wali murid yang meyakini dan mendorong saya untuk terus melakukannya. Dulu hanya dua walimurid yang percaya, lalu 10, sekarang sudah 100 lebih wali murid yang menyekolahkan anaknya ke sini.”
Di sekolah tersebut anak-anak belajar aneka macam pelajaran. Membaca, menulis, berhitung, dan berbicara. Siswa dibagi dalam tiga jenjang. Tingkat 1, 2, dan 3. Di saat jam istirahat mereka terlihat bermain dan berbincang dengan sesama siswa yang memiliki keterbatasan yang sama.
Pada pelajaran ekstrakurikuler, siswa asyik memainkan angklung bersama. Mereka mempersembahkan lagu “Kebunku” yang merdu, tetapi sama sekali tidak mengalun di telinga mereka. Di ujung penampilan siswa-siswa hebat itu tampak bahagia, karena tahu mendapat apresiasi, cukup dengan cara menatap ekspresi wajah penonton dan memerhatikan applause tepuk-tangan dalam senyap.
Rupanya para guru di situ adalah orang-orang extraordinary yang telah selesai dengan egonya. Aktivitasnya tidak lagi transaksional. Tidak lagi ngomong aku dapat apa dan untung berapa, tetapi justru sebaliknya: apa yang dapat saya lakukan buat sesama?
Di SLB Prima Bhakti Mulia siswa membayar SPP secara suka rela, bahkan sebagian siswa bebas biaya. Melihat superhero konkret seperti itu, saya salut dan haru. Tepatnya haru plus cemburu. Sebab saya, masih seperti orang kebanyakan, hanya mampu berempati, tetapi belum berpartisipasi. Baru dapat mengapresiasi, belum banyak berkontribusi. (*)




