Oleh Moh. Husen*
Jangankan salah dalam memilih pemimpin, salah dalam memuji rekan ngopi sehari-hari saja, risikonya bisa bikin kepala kita mau pecah. Padahal, kita hanya basa-basi belaka saat memujinya. Celakanya, yang dipuji malah percaya.
“Saya ini kerja keras, banting tulang, Mas. Hasilnya ya sekarang ini. Mas tahu sendiri,” katanya bangga.
Semua orang tahu, bahwa dia kaya berkat warisan orang tuanya. Tetapi, gara-gara dipuji, dia malah bercerita yang tidak-tidak. Bahkan menceramahi temannya, supaya sukses punya mobil dan macam-macam.
“Waduh, apes kita,” japri seorang kawan kepada si pemuji.
“Kamu sih, tadi pakai memuji dia segala,” lanjutnya.
Anda mungkin sering menjumpai hal semacam itu. Sebaiknya Anda santai saja. Sesantai Anda membaca tulisan saya ini.
Lantas begini. Dalam kurun 3 bulan ke depan menjelang pemilu 2024, biasanya kita menyaksikan para calon kontestan yang akan berkompetisi, entah itu pada pilpres atau pileg, mereka terlebih dahulu melakukan tradisi ziarah ke beberapa makam pahlawan, ulama, tokoh bersejarah, leluhur keluarga, orang tua dan sebagainya.
Ziarah semacam ini, selain jangan sampai salah niat, harus tulus dan ikhlas. Yang terpenting lagi, sebaiknya jangan sampai salah indentifikasi terhadap para almarhum sebelum mendatangi kuburannya. Hal ini penting. Ibarat kata pepatah, kumpul dengan penjual minyak wangi, kita akan kebagian bau harum berkat bersahabat dengan penjual minyak wangi.
Bayangkan jika kita kumpul penguasa atau kita jadi anak raja. Meskipun kita hanya teman dekat penguasa (dan bukan penguasa) atau kita anak raja (dan bukan raja), maka semua orang akan tunduk pada kita, melayani kita, tidak berani kepada kita, karena kita mendekat dan menjadi sahabat karib penguasa atau anak raja.
Maka, Anda jangan sampai salah bergaul, apalagi salah dalam berziarah. Untuk itu, mohon maaf, dalam tulisan ini saya paparkan dua paragraf penting yang pernah ditulis oleh budayawan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya yang berjudul Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan. Buku tersebut diterbitkan Zaituna, tahun 1999. Pada halaman 43, Emha menulis dua paragraf berikut:
Tematik ziarah menjadi harus ditentukan secara seksama. Kalau ziarah ke makam Sunan Ampel, umpamanya, ya mestinya tidak dengan tujuan menyerap fadhilah laris dagang dan ambisi politik, karena dalam kedua soal itu Baginda Ampel maupun semua Walisongo justru sangat menerapkan zuhud (menahan diri dan men-tidakkan kekayaan dan kekuasaan duniawi).
Kalau sedang dirundung ambisi atau rasa amarah untuk merebut kekuasaan, cocoknya mungkin cari makam Anusopati yang dulu sanggup menikam Ken Arok—bapak sambungnya yang sakti dan dalam jangka waktu yang sangat panjang sanggup menjalankan “strategi Kebo Ijo dan Keris Empu Gandring”: untuk perebutan dan pelanggengan kekuasaan. Atau justru ziarah ke makam Ken Arok sekalian, agar mungkin mentrasfer energi untuk men-Tunggul-Ametung-kan entah siapa yang ia pusingkan.
So, di warung kopi kita bisa bergurau sambil tertawa lebar: “Makanya jago kita selalu dan selalu kalah terus, sabar terus, tidak pernah dendam dan kurang begitu licik. Jangan-jangan selama ini mereka salah memilih makam ziarah, hahahaha….”
Banyuwangi, 10 November 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







