Oleh Moh. Husen*
Malam Minggu setelah menghadiri acara Lima Tahun Selapanan Sastra di Muncar, Banyuwangi, pulangnya kami 6 orang menepi di warung tahu lontong di jalan SMP Katholik. Di sebelahnya ada warung kopi dengan banner besar bertuliskan nama caleg PBB di temboknya. Kami pesan teh hangat di warkop tersebut.
Pagi harinya seorang teman yang lama tak bertemu, japri saya: “Ayok ngopi. Tak tunggu di warkop PKB.”
Saya terkejut sambil membalas: “Di mana itu?”
“Ya, di warkop samping pom bensin itu, cuma sekarang ada banner caleg PKB di sini.”
“Oalah. Oke, habis ini otw.“
Saya pun bergegas menemui si kawan lama tersebut.
Di warkop PKB itu kami bicara panjang lebar. Lama tak bertemu. Saling tanya kabar. Dan tentu, tema aktualnya membicarakan teman-teman kami yang berkompetisi berebut kursi legislatif. Serta lingkaran setan money politic.
Teman saya ini berapi-api mengatakan:
“Yang kaya saja tidak menolak dikasih uang, masak orang miskin dengan segala kesulitan hidupnya kita sebut penyebab adanya politik uang dalam pemilu? Lakukan eksperimen. Yang kaya dikasih uang, yang miskin dikasih uang untuk memilih salah satu calon, adakah yang menolak?”
“Money politic itu salah. Tapi ranking satu yang harus disalahkan itu orang kaya yang tidak malu menerima amplop. Jangan emak-emak melarat itu yang ditakuti dosa, haram dan neraka.”
“Begini saja. Siapa saja jangan dikasih uang. Yang kaya, yang pejabat, hingga yang melarat, jangan dikasih uang untuk mencoblos salah satu calon. Tak usah kasih uang. Sampaikan saja visi misi dan pendidikan politik. Lalu biarkan mereka memilih siapa yang terbaik menurut mereka.”
“Kalau menurut mereka yang terbaik adalah yang memberi uang, gimana?” saya menyela bertanya.
“Ya terserah mereka,” jawabnya tegas.
“Sampeyan ini tim sukses caleg yang tak punya uang ya?”
Terhadap pertanyaan saya yang terakhir itu, dia langsung misuh A dan J. Tapi karena yang berkuasa menulis ini adalah saya, maka saya sensor.
So, marilah kita memasuki masa kampanye dalam pemilu ini dengan damai riang gembira, dan stop politik uang.
Banyuwangi, 29 November 2023
*) Catatan kultural jurnalis RadarJatim.id, Moh. Husen, tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur.







