Oleh: A Mukhtar Hadisaputra¹
Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 membawa angin segar untuk pembangunan desa dengan dukungan dana dari APBN yang lumayan besar. Indonesia yang luas dan berbasis pertanian menjadikan desa sebagai pusat strategis untuk mengembangkan ekonomi. Sayangnya, masih banyak desa di Indonesia yang tertinggal. Menurut survei IDM tahun 2020, ada 2.437 desa sangat tertinggal (3,49%), 13.900 desa tertinggal (19,91%), 39.847 desa yang sudah berkembang (57,07%), 11.900 desa yang sudah maju (17,04%), dan 1.742 desa yang sudah mandiri (2,49%) (sumber: idm.kemendesa.go.id).
Kondisi ini tentunya menjadi tantangan sekaligus peluang untuk memajukan desa. Pembaruan ini dikenal sebagai desa cerdas atau smart city. Akan tetapi, di lapangan, konsep smart city lebih banyak berfokus pada teknologi, padahal seharusnya melibatkan berbagai aspek.
Oleh karena itu, perlu perhatian khusus untuk merancang desa cerdas, tidak hanya dalam hal teknologi informasi, melainkan juga aspek lainnya. Penelitian dari Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara menyoroti empat aspek yang perlu ditingkatkan, yaitu smart goverment, smart society, smart economy, dan smart environment. Ini berarti untuk mengembangkan desa cerdas, langkah-langkah perlu diambil secara menyeluruh.
Konsep Desa Cerdas, seperti yang dijelaskan oleh Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara, mempertimbangkan empat aspek penting: Smart Government, Smart Society, Smart Economy, dan Smart Environment. Smart Government menyoroti pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik melalui penguatan aparatur, kelembagaan, dan pelayanan dasar.
Smart Society mendorong masyarakat untuk menggunakan modalnya guna mendorong perubahan, dengan memperhatikan kearifan lokal sebagai kekuatan utama dalam membangun desa cerdas. Smart Economy menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam struktur ekonomi desa melalui penguatan badan usaha, sumber ekonomi, dan usaha masyarakat yang difasilitasi. Sementara itu, Smart Environment fokus pada penguatan dan penataan lingkungan desa, dengan memperhatikan potensi, risiko, dan pengelolaan lingkungan.
Semua aspek ini memainkan peran penting dalam pembangunan desa cerdas. Apalagi, desa memiliki kewenangan yang luas, seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 peraturan menteri dalam negeri, yang memberikan desa wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat.
Refleksi kegiatan untuk mempercepat pengembangan desa cerdas memerlukan berbagai langkah, termasuk pelatihan kepemimpinan desa, pelatihan perangkat desa, FGD, lokakarya pemetaan lingkungan, dan pelatihan kader digital desa. Dengan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti kepala desa, dalam pelatihan kepemimpinan yang bersifat transformatif, distributif, dan partisipatif, diharapkan dapat memperkuat tata kelola desa dan digitalisasi.
Selain itu, pelatihan kelembagaan desa dan ekonomi desa perlu difasilitasi melalui lokakarya atau FGD, dengan melibatkan kearifan lokal desa sebagai upaya untuk memahami dan melestarikan tradisi serta kebiasaan yang kadang mulai terlupakan. FGD dapat berfokus pada pemetaan lingkungan desa, mengidentifikasi potensi lahan, risiko bencana, dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, pelatihan kader digital desa perlu diadakan untuk mendukung desa dalam menghadapi perkembangan teknologi.
Dalam mengakhiri pembahasan, penting untuk diingat bahwa membangun desa cerdas tidak hanya melibatkan aspek digital, tetapi juga memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup smart goverment, smart society, smart economy, dan smart environment. Hanya dengan melibatkan dan melatih pemimpin desa, perangkat desa, serta melibatkan masyarakat secara langsung, kita dapat mempercepat perubahan dan membangun desa yang cerdas dan berkelanjutan. (*/RJ)
¹Penulis: Tenaga Ahli Edusearch Indonesia, Wakil Ketua Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat DPC Persatuan Alumni GMNI Kabupaten Sidoarjo Periode 2022-2027





