Sapto Anggoro atau yang akrab disapa Pakdhe Sapto merupakan sosok yang fenomenal di dunia pers Indonesia. Awalnya, saya sempat merasa canggung untuk mendekati dan berkomunikasi dengannya, karena reputasinya sebagai insan pers nasional.
Anggota Dewan Pers (DP) asli Jombang, Jawa Timur ini sudah dikenal luas oleh para insan pers di negeri ini, sehingga saya sungkan untuk menelisik lebih dalam sosok humble yang satu ini.
Suatu hari, saya memberanikan diri untuk berkunjung ke Padepokan Asa di bawah kaki Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta, tempat di mana Pakdhe Sapto menikmati hari-harinya bersama keluarga. Dalam kesempatan tersebut, saya banyak berbincang dengannya tentang pekerjaan dan kehidupannya.
Pakdhe Sapto, yang bernama asli Atmaji Sapto Anggoro, lahir dan dibesarkan di Jombang. Ayahnya, Kapten (Purn) CPM Tamyas Mintoredjo, merupakan sosok penting dalam hidupnya. Sapto menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 1 Jombang dan melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (AWS) hingga meraih gelar sarjana.
Karier jurnalistiknya dimulai sebagai wartawan olah raga di Harian Sore Surabaya Post pada 1986, ketika masih kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi AWS. Lalu ia pindah ke Berita Buana, ikut merintis Republika, Detikcom, serta founder Merdeka.com dan Tirto.id. Sapto juga mendirikan media monitoring Binokular. Tak hanya itu, ia juga aktif di Padepokan ASA, yang fokus pada bidang sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
Dari sudut pandang “orang jauh tapi dekat”, Sapto merupakan figur yang memang tak lepas dengan dunia pers. Dengan kawan-kawannya sesama jurnalis, Sapto dikenal suka berbagi ilmu dan pengalaman dan suka menolong. Semisal dengan sesama “alumni” Surabaya Post, yakni Suhartoko, founder dan memimpin laman RadarJatim.id.
Keduanya cukup akrab meski berdomisili di kota berbeda. Sapto tinggal di Sleman, sementara Suhartoko di Gresik, Jawa Timur. Satu-satunya perekat emosional dan batin keduanya adalah kuatnya budaya kekeluargaan yang terbangun kokoh di keluarga besar Surabaya Post.
Para “alumni” koran legendaris asal Surabaya ini terikat dalam budaya kekeluargaan yang cukup kental. Komunikasi sehari-hari mereka diwadahi dalam grup media sosial WhatsApp (WA). Sementara pertemuan rutin di antara mereka selalu saja terjadi dalam momen-momen tertentu. Dan, puncak keakraban kedua insan pers ini terjadi ketika keduanya terpapar oleh pandemi Covid-19, empat tahun silam.
Sapto yang kala itu lebih duluan terpapar virus mematikan dan akhirnya sembuh itu, hampir tiap hari “mengontrol” Hartoko, sapaan akrab Suhartoko ketika pria alumni Unesa ini juga terpapar virus Corona. Meski hanya lewat sambungan komunikasi via WA, Sapto memberikan perhatiannya yang cukup besar. Mungkin, Sapto tidak ingin apa yang dialami dan rasakan terkait keganasan virus Corona, juga dirasakan Hartoko.
“Hampir tiap hari, Mas Sapto menanyakan perkembangan kondisi saya. Selalu saja ada tips-tips kesehatan yang disampaikan agar saya cepat sembuh. Sampai-sampai, lewat jasa pengiriman paket, saya dikirimi alat pengukur suhu badan dan kadar oksigen dalam jantung. Saya benar-benar merasakan kebersamaan yang luar biasa yang diberikan Mas Sapto kepada saya,” kenang Hartoko.
Family Man
Walaupun kesibukannya yang luar biasa, Pakdhe Sapto dikenal sebagai seorang family man. Ayah dari dua anak ini sangat dekat dengan keluarga dan kerabatnya dan begitu hormat kepada wanita. Ini terbukti dari kesehariannya yang selalu mesra dengan sang istri dan santun kepada ibu mertuanya. Kesibukan yang kerap membawanya keliling Indonesia dan berbagai belahan dunia, sering diiringi oleh sang istri dan ibu mertuanya yang sudah sepuh. Hal ini dapat dilihat dari foto-foto kebersamaan mereka di akun media sosialnya, seperti Facebook.
Selain itu, ada yang unik dari Pakdhe Sapto dan nyaris langka. Meski sangat sayang pada keluarga, namun tidak satu pun kerabat, keponakan, atau anaknya yang diberikan jalan mudah tanpa bersusah payah, termasuk dalam sepak terjangnya di dunia pers.
“Raihlah suksesmu sendiri dengan skill dan kerja kerasmu,” kata Pakdhe Sapto kepada kerabat dan keponakannya.
Pesan tersebut menekankan pentingnya meraih sukses tanpa bergantung pada koneksi keluarga atau dikenal dengan istilah nepotisme. Ya, itu yang benar-benar dihindari Sapto dalam mengantar sukses orang-orang yang dekat dengannya.
“Koen nek pinter terus gelem kerjo keras karo ndungo, insya Allah kebeh cita-citamu tercapai (Kamu jika pintar dan mau bekerja keras disertai doa, insya Allah semua cita-citamu tercapai),” pesan Pakdhe Sapto kepada salah seorang keponakannya.
Semoga cerita singkat ini memberikan inspirasi dan spirit orang-orang muda yang ingin sukses. Jangan sampai terpatri dalam mindset anak-anak muda yang hanya ingin sukses tapi bergantung atau nggandhol popularitas orang tuanya. Dan, Sapto Anggoro adalah sosok yang telah menginspirasi banyak orang di Indonesia. (Barbar Simanjuntak)







