Oleh: Lailatul Musyarofah
Sustainable Development Goals yang ke-5 atau SDG 5 adalah pembangunan berkelanjutan yang berfokus pada kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam mencapai tujuan ini dalam berbagai kebijakan dan program yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup serta peran perempuan dalam pembangunan. Misalnya, kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, serta perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan (Bappeda Jogja).
Namun, tantangan masih ada, yakni dalam hal partisipasi perempuan di sektor publik dan swasta, serta upaya mengurangi kekerasan berbasis gender. Menurut data, Indonesia memiliki nilai indeks 59,3 dari total nilai 100 untuk SDG 5 (Kesetaraan Gender), yang masih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara lain (IBCWE 24/12/2023).
Terkait dengan Konvensi ILO Nomor 190 (C190) tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasinya. Padahal, konvensi ini penting untuk memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi pekerja dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Berbagai organisasi dan serikat pekerja telah mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi C190 guna menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan (Kompas 22/11/2022).
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia telah mengambil langkah-langkah positif menuju kesetaraan gender sesuai dengan SDG 5, masih diperlukan upaya lebih lanjut, termasuk ratifikasi C190 untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan pekerja dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Dalam perjuangan global untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menghapus segala bentuk diskriminasi serta kekerasan berbasis gender, peran ibu menjadi sangat signifikan. Sebagai individu yang kerap dianggap sebagai pengasuh utama keluarga, ibu bukan hanya agen perubahan dalam lingkup domestik, tetapi juga aktor strategis dalam mengadvokasi kebijakan publik seperti pencapaian SDG 5 dan ratifikasi C190.
Kesetaraan Gender Dimulai dari Keluarga
SDG 5 bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan. Ibu, sebagai individu yang berperan penting dalam pendidikan awal anak, menjadi aktor kunci dalam menanamkan nilai kesetaraan gender sejak dini. Seorang Ibu dapat menanamkan nilai tersebut melalui berbagai kesempatan.
Dalam hal pembagian tugas rumah tangga misalnya. Seorang ibu bisa membagi tugas dan partisipasi anak dalam kegiatan domestic tanpa melihat perbedaan gender. Membantu Ibu memasak tidak harus menjadi kewajiban anak perempuan. Demikian pula membantu Ayah dalam menyelesaikan masalah otomotif dan kelistrikan tidak melulu manjadi tugas anak laki-laki. Ini penting agar tidak ada dikotomi gender dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dalam wacana yang lebih besar seperti cita-cita dan arah kehidupan yang akan dilalui anak-anaknya. Kesetaraan gender yang nilainya ditanamkan sejak dini akan mengajari sensitivitas pada anak akan kesamaan kesempatan yang bisa diperolah oleh semua orang di semua bidang. Hal ini juga akan menanamkan nilai keadilan sosial bagi sesama.
Contoh lain adalah dalam menyampaikan aspirasi. Penting membuat satu momen kebersamaan dimana suara anak didengarkan dengan antusias oleh orang tua. Lebih penting juga bagaimana suara mereka mendapatkan perhatian dan prioritas yang setara berdasarkan kebutuhan keluarga bukan berdasarkan siapa yang bersuara. Kegiatan ini tentu membutuhkan petugas notulis, moderator, dan pemimpin musyawarah. Satu latihan efektif bagi anak-anak untuk public speaking, critical thinking, dan listening skill. Peran seorang Ibu sangat penting dalam mendukung aktivitas ini karena kehadiran ibu melalui sentuhan, instruksi lembut, atau masakan istimewa dipastikan membuat suasana musyawarah lebih bermakna tanpa rasa terpaksa.
Bagi seorang ibu yang juga seorang wanita karir atau masih dalam proses menyelesaikan studi, sesungguhnya ia telah memberdayakan diri sendiri melalui pendidikan atau pekerjaan yang dipilih. Dia telah menjadi role model bagi anak-anak, menunjukkan bahwa perempuan juga dapat berkontribusi signifikan di ruang publik. Seorang ibu dapat melaksanakan tanggung jawab ganda dengan fungsi dan peran ganda.
Ibu sebagai Agen Perubahan dalam Keluarga
Konvensi ILO C190 mengakui hak setiap orang atas lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk berbasis gender. Dalam lingkup keluarga, tampaknya mustahil seorang ibu bisa berperan atau setidaknya melakukan sosialisasi C190. Namun tidak ada yang mustahi bukan? Meski bukan dalam tataran konsep atau teori, seorang ibu tetap bisa memberikan kontribusi dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
Menciptakan rumah yang harmonis bebas bullying dengan saling menghargai, menghormati, dan menyayangi, memang bukan pekerjaan yang sederhana. Diperlukan upaya dan kesadaran dari semua anggota keluarga untuk membentuk kondisi rumah impian ini. Seorang ibu bisa memulai untuk mendidik anak-anak tentang pentingnya menghormati hak-hak orang lain dan menolak segala bentuk kekerasan. Contoh sederhananya adalah dalam pemenuhan kewajiban sebelum memuntut hak. Maka seorang ibu wajib mengenalkan konsep hak dan kewajiban dan bagaimana dua hal terhubung satu sama lain.
Jika ingin bermain HP, selesaikan tugas sekolah terlebih dahulu. Jika ingin bermain, pastikan tugas rumah telah selesai, dan seterusnya. Maka seorang anak akan menerima teguran dengan lapang dada karena telah memahami konsep hak dan kewajiban dengan baik. Teguran adalah konsekuensi dari kewajiban yang diabaikan. Ibu sebagai seseorang yang sebagian besar waktunya tinggal di dalam rumah, menjadi kunci keberhasilan harmonisasi ini.
Lingkungan kerja yang aman menjadi salah satu concern C190 yang bisa secara analogis bisa diciptakan oleh seorang ibu dengan meningkatkan kesadaran keluarga untuk mewujudkan rumah yang aman. Sebagai komunikator utama dalam keluarga, ibu dapat menyampaikan pentingnya lingkungan rumah yang aman dan bagaimana setiap anggota keluarga berperan dalam mewujudkannya. Suasana di rumah menjadi contoh yang baik bagi anggota keluarga untuk menerapkannya di lingkungan kerja kelak. Pentingnya pemahaman akan lingkungan kerja yang aman juga perlu disampaikan kepada anak melalui cerita orangtua tentang bagaimana lingkungan kerja mereka.
Kontribusi terhadap Ratifikasi C190
Melangkah sedikit keluar rumah, dalam lingkup yang lebih luas, ibu dapat menjadi motor penggerak dalam Gerakan Ratifikasi C190. Berikut adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh seorang ibu yang aktif berkegiatan dalam organisasi atau yang bekerja dan memiliki komunitas. Hal-hal yang bisa dilakukan meliputi kampanye, advokasi, dan kolaborasi.
Kampanye dapat dilakukan secara local dengan menginisiasi kampanye untuk mendukung SDG 5 dan C190 di lingkungan melalui nebeng di seminar atau diskusi kelompok. Sedangkan advokasi dapat dilakukan dalam komunitas. Ibu yang tergabung dalam organisasi perempuan, seperti kelompok ibu rumah tangga atau komunitas perempuan pekerja, dapat menjadi ujung tombak dalam menyuarakan pentingnya ratifikasi C190 kepada pemerintah.
Bergabung dengan organisasi yang fokus pada pemberdayaan perempuan untuk memperkuat advokasi kebijakan menjadi satu langkah penting dalam melakukan kolaborasi. Berjuang dalam organisasi akan memudahkan tercapainya satu tujuan karena union power, people power. Berjuang dalam organisasi menjadi jalan dalam mendorong satu kebijakan utamanya dalam ratifikasi C190 di Indonesia.
Ibu tidak hanya memiliki peran dalam lingkup domestik, tetapi juga dalam perubahan sosial yang lebih besar. Dengan mengedukasi keluarga, menginspirasi komunitas, dan berkontribusi pada advokasi kebijakan, ibu menjadi pilar penting dalam mewujudkan dunia yang lebih setara, adil, dan bebas dari kekerasan berbasis gender.*
*) Penulis adalah Dosen Universitas PGRI Delta dan Sekbiro Pemberdayaan Perempuan PGRI Provinsi Jatim







