SIDOARJO (RadarJatim.id) – Pemerintah Desa (Pemdes) Sidokepung, Kecamatan Buduran pada tahun 2023 lalu mendapatkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebanyak 1.000 bidang.
Namun program PTSL Desa Sidokepung tahun 2023 itu sempat dihentikan, karena ada penolakan warga terkait kebijakan ES selaku Kepala Desa (Kades) Sidokepung yang mewajibkan para pemohon ajudikasi untuk menggunakan jasa notaris terkait alas hak perolehan tanah, sebagai salah satu syarat permohonan pengajuan ajudikasi PTSL.
Program PTSL akhirnya dilanjutkan setelah ada mediasi yang melibatkan dari unsur Kecamatan Buduran, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo, BPN Sidoarjo, panitia, Pemdes dan perwakilan warga Sidokepung.
Dalam mediasi itu telah disepakati bahwa warga atau para pemohon ajudikasi PTSL untuk mengurus alas hak perolehan atas tanah tidak diwajibkan ke notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai syaratnya.
Masyarakat dikenakan biaya sebesar Rp 150.000 untuk satu pembelian patok, materai, dan operasional panitia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya semua warga yang ikut progam PTSL ini harus membeli patok dan materai lagi.
“Saya sudah bayar Rp 150 ribu untuk biaya pendaftaran, yang katanya untuk pengadaan patok dan materai. Tapi, saya masih disuruh beli materai dan patok sendiri. Dan semua warga yang daftar juga beli patok dan materai sendiri, mas,” kata Agung, salah satu warga Desa Sidokepung, Sabtu (08/03/2025).
Diungkapkan oleh Agung bahwa dirinya sampai harus menggadaikan sepeda motornya guna melunasi tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) miliknya, sebagai salah satu syarat agar bisa didaftarkan ke program PTSL.
“Saya sampai menggadaikan sepeda motor untuk melunasi PBB dan berharap bisa ikut program PTSL. Tak tahunya, sertifikatnya tidak jadi,” ungkapnya.
Menurut informasi yang Agung dapatkan dari Sekretaris Desa (Sekdes) Sidokepung bahwa 95 berkas pemohon ajudikasi PTSL yang tidak jadi tersebut, dikarenakan berkas persyaratannya masih kurang atau tidak lengkap.
Namun yang menjadi pertanyaan oleh Agung, kalau berkas persyaratannya tidak lengkap. Kenapa tidak ada pemberitahuan dari panitia PTSL atau Pemdes Sidokepung kepada para pemohon untuk melengkapinya.
“Pak Carik (Sekdes, red) juga mengatakan kalau berkas itu dibawa Bu Kades (ES, red) dan baru diberikan ke Pak Carik bertepatan dengan pengunduran dirinya sebagai Kades Sidokepung karena akan ditetapkan sebagai calon legislatif oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum, red) Sidoarjo tahun kemarin. Ini kan aneh, dan saya menduga ini ada diskriminasi terhadap warga masyarakat,” terangnya.
Atas perbuatannya tersebut, Kades dan Sekdes Sidokepung diduga telah melakukan tindak pidana korupsi penggelapan dokumen dalam jabatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi.
Potensi pelanggaran pasal tersebut sangat relevan, karena perbuatan mereka sangat merugikan warga Desa Sidokepung, baik secara materiil maupun immateril. Karena masyarakat pemohon ajudikasi PTSL sudah mengeluarkan biaya dan meluangkan waktunya untuk ikut program ini. Itu adalah hak mereka sebagai warga negara untuk mendapatkan pelayanan dan kemudahan dalam proses sertifikasi atas tanahnya.
Dalam keterangan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan/Penyidikan SP2HP yang diterima oleh Hj. Elly Wahyuningtiyas selaku pelapor dari penyelidik/ penyidik Unit Tindak Pidana Korupsi Satuan Reserse dan Kriminal (Tipidkor Satreskrim) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Sidoarjo selama ini.
Pelapor menduga adanya ketidak profesionalan dalam melakukan proses penyelidikan yang terkesan mengulur-ulur waktu dan terkesan memberikan kesempatan kepada para terlapor untuk menghilangkan barang bukti atau melakukan tindakan-tindakan lain guna membuat kasus ini semakin kabur.
Ada beberapa indikasi terkait dugaan ketidak profesionalan penyelidik/penyidik Unit Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo. Salah satunya melakukan koordinasi dengan pihak Inspektorat Pemkab Sidoarjo, padahal kasus ini tidak ada kaitannya dengan pengelolaan keuangan desa. Itupun dilakukan setelah semua pihak sudah diperiksa/diminta keterangan oleh Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo, mulai dari pelapor, saksi, perangkat desa, maupun panitia PTSL dan BPN.
Penyelidik/penyidik seolah-olah enggan untuk memeriksa ES, mantan Kades Sidokepung yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo yang menjadi terlapor utama.
Berdasarkan SP2HP selanjutnya, penyelidik/penyidik Unit Tipidkor Satreskrim Polreta Sidoarjo juga gagal menghadirkan ES meskipun sudah mangkir sebanyak dua kali dari pemanggilan.
Dan janggalnya lagi, penyelidik/penyidik Unit Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo bukannya melakukan pemanggilan ketiga kepada ES, malah justru berkirim surat ke Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo agar dapat menghadirkan ES untuk diperiksa.
Akan tetapi, baik Ketua maupun Sekretaris DPRD Kabupaten Sidoarjo merasa sama sekali belum pernah menerima surat dari penyelidik/penyidik Unit Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo tersebut.
Tentu saja penegakan hukum yang dilakukan oleh Unit Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo atas dugaan tindak pidana korupsi berupa pungli PTSL Desa Sidokepung ini sangat disayangkan ditengah tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian sedang mengalami penurunan.
Seharusnya kondisi ini dijadikan pembelajaran bagi setiap penyelidik/penyidik Unit Tipidkor Satreskrim Polresta Sidoarjo untuk bisa membuktikan ke publik bahwa penegakan hukum oleh instansi kepolisian tidak diskriminatif dan tetap memegang teguh azas kesamaan dalam hukum atau equality before the law. Apalagi tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. (mams)







