Oleh Muhammad Ibra Sectio Purnomo
Ketika membahas pengelolaan lahan hijau di Indonesia, kita dihadapkan pada kenyataan yang cukup ironis. Di satu sisi, pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas melalui Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan minimal 30% ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun, di sisi lain implementasi aturan ini masih jauh dari harapan. Banyak kota besar di Indonesia yang gagal memenuhi target tersebut, bahkan beberapa di antaranya justru mengalami penurunan signifikan dalam luas lahan hijau akibat pesatnya pembangunan infrastruktur dan properti.
Permasalahan utamanya terletak pada sistem administrasi publik yang masih terlalu birokratis. Banyak aturan yang seharusnya melindungi lahan hijau justru menjadi hambatan dalam pelaksanaannya, karena proses perizinan yang rumit dan kurangnya koordinasi antarlembaga. Akibatnya, proyek-proyek properti yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi sering “mengalahkan” kepentingan pelestarian ruang hijau. Hal ini menunjukkan, bahwa sistem administrasi publik masih lebih mementingkan aspek ekonomi jangka pendek daripada investasi lingkungan jangka panjang.
Administrasi publik yang baik seharusnya tidak hanya berfokus pada tumpukan dokumen dan tanda tangan pejabat. Diperlukan kolaborasi nyata antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menjaga dan menambah luasan lahan hijau. Pemerintah bisa memberikan insentif kepada warga atau pengusaha yang berkontribusi dalam pelestarian ruang hijau, misalnya melalui pengurangan pajak atau kemudahan perizinan bagi mereka yang membangun taman atau menanam pohon di lahan miliknya. Selain itu, transparansi data mengenai ruang terbuka hijau sangat penting agar masyarakat dapat mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian lingkungan.
Sayangnya, selama ini pembangunan fisik kerap menjadi prioritas utama pemerintah daerah. Pembangunan gedung-gedung tinggi, pusat perbelanjaan, dan jalan raya terus digenjot tanpa memperhatikan keberadaan lahan hijau yang semakin terpinggirkan. Padahal, ruang hijau memiliki peran vital sebagai paru-paru kota, penyeimbang ekosistem, serta tempat rekreasi dan bermain anak-anak. Jika ruang hijau terus berkurang, dampaknya bukan hanya pada kualitas udara dan suhu kota yang semakin panas, tetapi juga pada kesehatan fisik dan mental masyarakat.
Penting untuk disadari, bahwa lahan hijau adalah investasi jangka panjang yang manfaatnya jauh melampaui keuntungan ekonomi sesaat. Udara bersih, suhu kota yang lebih sejuk, dan ruang bermain yang aman untuk anak-anak merupakan hak setiap warga kota. Oleh karena itu, administrasi publik yang bijak harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Pemerintah harus berani menegakkan aturan, memperbaiki tata kelola administrasi, serta melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan terkait ruang hijau.
Ke depan, reformasi sistem administrasi publik dalam pengelolaan lahan hijau mutlak diperlukan. Pemerintah harus lebih tegas dalam menindak pelanggaran alih fungsi lahan, memperkuat pengawasan, serta memastikan setiap kebijakan pembangunan selalu mempertimbangkan aspek lingkungan. Dengan demikian, cita-cita memiliki kota yang sehat, nyaman, dan berkelanjutan bukanlah sekadar impian, melainkan dapat benar-benar terwujud melalui komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. (*)
*) Muhammad Ibra Sectio Purnomo, Mahasiswa Administrasi publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







