Oleh Andi Fajar Yulianto
Tanggal 1 Juni pada setiap tahun, sebagai anak bangsa Indonesia kita selalu memeringati hari kelahiran Pancasila. Pada tahun 2025 ini, sangat perlu merefleksikannya seiring dengan perkembangan dan revolusi digital yang telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan.
Globalisasi di bidang digital pun memaksa adanya perubahan, mulai gaya, pola dan perilaku, baik sosial ekonomi, budaya dan dinamika politik, sampai tata kelola komunikasi. Hal tersebut sangat berdampak dan secara kasat mata bisa dilihat terjadinya pergeseran yang mengarah pada semakin tingginya angka perilaku masyarakat melakukan perbuatan melawan hukum melalui media sosial.
Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan dunia digitalisasi. Fakta tak terbantahkan, di antaranya, maraknya perbuatan melawan hukum mulai judi online, perdagangan orang, barang melalui aplikasi media online, dan segala modus penipuan, pemerasan, bulying, serta alat politik kotor dengan penyebaran berita hoaks. Dampaknya, piranti digital yang bisa melesat tanpa batas bisa dijadikan saraba untuk melumpuhkan lawan politik atau orang yang dianggap sebagai kompetitor dalam sebuah persaingan bisnis.
Kepintaran generasi kekinian di dunia digital, jika tidak terkendali, justru menjadi pemantik dan bumerang bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Potensi kerusakan bangsa ada di depan mata dan bisa menjalan ke semua aspek atau lini kehidupan.
Menyikapi hal tersebut, kemampuan instingtif dalam memfilter arus informasi melalui olah pikir dan rasa perlu dibangun sebagai fonfasi kokoh untuk membendungnya. Sebab, lahirnya dampak positif atau negatif cukup dipicu dengan memanfaatkan kecanggihan perangkat komunikasi digital lewat sentuhan jemari. Artinya, penggunaan dan pemanfaatan perangkat digital dapat memengaruhi atau melahirkan dampak yang membawa pada kerusakan atau sebaliknya, kemaslahatan bagi bangsa ini. Karena itu, diperlukan sikap arif dan bijak dalam memanfaatkannya.
Dengan demikian, pendidikan formal bukan lagi menjadi modal utama dalam menghadapi era globalisasi digital. Maka, perkembangan generasi penerus bangsa tentu wajib dibarengi dengan keteladanan dari para sesepuh, senior, dan para pemegang dan penentu kebijakan negara di semua level. Sementara bagi generasi penerus bangsa, pendidikan karakter dan keluhuran budi pekerti menjadi keniscayaan dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif atas berlangsungnya revolusi digital.
Karena itu, di masa “kegersangan” nurani dan karakter bangsa, membumikan kembali Pancasila dalam kehidupan sehari-hari justru menunjukkan relevansinya yang semakin kuat dalam menghadapi era revolusi digital yang mengglobal ini. Mari kita gali akan keluhuran nila-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sila kesatu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Relevansinya dalam konteks dunia digital merupakan tantangan baru untuk membendung berita bohong atau hoaks. Perseteruan atau perbedaan pemahaman di bidang keagamaan dan aliran, sangat memberikakan energi masif dalam memecah belah umat. Demikian juga perdebatan dalam mendefinisikan toleransi beragama di dunia maya.
Media sosial yang dapat menyebarkan –secara cepat– informasi atau berita kebencian satu pihak atau kelompok terhadap pihak atau kelompok lainya, perbuatan penipuan dan banyak hal tentang motif perbuatan melawan hukum yang lahir lewat dunia digital, sudah saatnya dipatahkan dengan pemahaman yang benar setiap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal itu penting, karena jika pemahamanan akan ke-Tuhanan itu sudah terpatri danmengakar kuat, pertanggungjawabannya bukan hanya di depan internal kelompok, lingkungan masyarakat, atau bahkan negara, tetapi jauh di atas itu semua, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini memiliki relevansi yang kuat pula ketika berbicara di media sosial tentang adab atau etika berselancar, misalnya melalui platform AI (Artificial Intelligence), perlindungan harkat martabat pribadi, juga digital divide. Di sinilah teknologi digital harus mampu melayani aspek kemanusiaan secara lebih baik, bukan sebaliknya. Maka, faktor adab dan etika bermedia sosial merupakan sebuah keharusan dalam pemahaman yang harus diterapkan dalam kurikulum kehidupan.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Rerelevansinya selaras pula dalam hal dinamika ujian melalui algoritma media sosial yang cenderung menciptakan “keakuan”, super-ego, atau echo chamber yang hanya menghendaki satu pikiran yang homogen, tanpa memperhatikan penghormatan, penghargaan dari pendapat pihak lain, sehingga berpotensi terjadi perpecahan.
Di sini Pancasila mendidik berkarakter untuk menguatkan roh persatuan, sikap rukun, kompak, juga kerja sama atau kolaborasi yang baik di antara sesama anak bangsa. Perlu diperkokoh spirit bersatu, merasa bersadara sebangsa dan setanah air, meski kental dengan keragaman budaya, adat-istiadat dan sebagainya. Demikian pula dalam memasuki ruang digital, harus ada niatan dalam mencari kemaslahatan bersama.
Sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini memiliki relevansi yang kuat dengan perkembangan e-governance dan partisipasi publik di dunia digital dalam demokrasi.
Ruang-ruang media sosial dan media digital atau online sebagai sumber untuk mengedukasi kepemimpinan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain dalam suatu kelompok atau organisasi. Roh bermusyawarah sebagai kekuatan dalam pengambilan keputusan dan kebijaksanaan sebagaimana terkandung dalam sila keempat itu, akan berdampak pada upaya memperkuat dan memperkokoh demokrasi yang beradab.
Dan, sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di era digital seperti sekarang ini, berarti memastikan akses teknologi yang merata. Relevansinya menjadi upaya untuk mencegah monopoli platform digital, dan memastikan teknologi dengan segala inovasinya, harus membawa pertumbuhan ekonomi dan peluang bisnis yang merata, menguatkan kolaborasi untuk peningkatan produktivitas, pendidikan, kesehatan, hingga sosial politik.
Dalam berkeadilan itu ada roh yang kuat membantu yang lemah, yang bisa membantu yang tidak bisa, yang ingat harus mengingatkan yang sedang lupa, dan yang salah harus bisa menerima nasihat yang benar dan tidak mengulangi akan perbuatan yang salah dan melawan hukum. Dengan demikian, karakter keadilan yang merata akan lahir dan hadir dengan sendirinya.
Refleksi Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni menjadi momentum mengembalikan secara optimal relevansi roh butir-butir nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada akhirnya, tercapailah cita-cita luhur dari pidato sang Founding Father Ir Soekarno di hadapan Sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI pada 80 tahun silam. Semoga. {*}
*) Andi Fajar Yulianto, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Fajar Trilaksana, Tinggal di Gresik, Jawa Timur.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







