Oleh Ahmad Chuvav Ibriy
Di tengah musim hajatan yang meriah, mulai dari pernikahan, khitanan, hingga syukuran rumah baru, kerap terdengar satu kata yang akrab, tapi makin samar maknanya: tetangga. Dalam budaya Jawa dan nilai-nilai Islam yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, tetangga adalah sosok yang bukan hanya dekat secara geografis, tapi juga secara batin. Namun, bagaimana makna tetangga itu kini bertransformasi di tengah arus digital?
“Tetangga itu kudu diapiki lan dimulyakake.” Dhawuh ini sering terdengar dalam wejangan para sepuh. Artinya, tetangga harus diperlakukan dengan baik dan dimuliakan. Ini bukan sekadar etika sosial, tapi juga bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi: “Tidak beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya lapar di sampingnya” (HR. Bukhari).
Namun, di era digital, batas-batas tetangga tak lagi kaku. Kita tidak hanya hidup berdampingan dengan orang di sebelah rumah –40 rumah kanan dan kiri, dan 40 rumah depan dan belakang–, tapi juga bersama mereka di grup WhatsApp (WA) warga, forum Facebook desa, hingga jaringan media sosial lokal. Mereka adalah tetangga digital, sosok yang hadir dalam interaksi sehari-hari lewat layar gawai.
Dalam artikel “Budaya Lokal dalam Pusaran Digital” di Kompas.id, ditulis, bahwa ruang digital telah menjadi perpanjangan dari budaya lokal. Di sanalah gotong-royong digital tumbuh: dari koordinasi kerja bakti, iuran bersama, hingga penyebaran info duka dan suka. Bahkan, undangan kondangan kini lebih banyak dibagikan via story Instagram, broadcast WA, atau e-invitation.
Fenomena ini membuka peluang besar. Saat ini, banyak keluarga yang terbantu menyebarkan informasi hajatan lewat grup-grup online. Bahkan, ada yang mengadakan siaran langsung akad atau resepsi bagi kerabat dan tetangga jauh. Ini bagian dari bentuk baru “memuliakan tetangga“, yakni mengikutsertakan mereka dalam momen berharga meski tidak hadir secara fisik.
Namun, era digital juga membawa tantangan tersendiri. Tidak semua orang memiliki akses dan literasi digital yang cukup memadai. Warga lanjut usia (lansia), warga pinggiran, atau mereka yang tidak akrab dengan gawai bisa terpinggirkan dari arus informasi. Di sinilah peran penting kita sebagai tetangga digital: menyampaikan informasi penting secara langsung, membantu mereka membuka undangan digital, bahkan sekadar membantu mengirimkan salam atau titipan doa.
Etika bermedsos juga bagian dari akhlak bertetangga. Saling menyindir di status, menyebarkan hoaks, atau menyudutkan warga di grup online bisa merusak harmoni. Tetangga digital yang baik adalah mereka yang menjaga bahasa, menyebar kebaikan, dan menjadi jembatan bukan jurang pemisah.
Maka, musim hajatan ini seharusnya tidak hanya menjadi ajang makan bersama, tapi juga refleksi sosial. Apakah kita sudah menjadi tetangga yang apik dan mulya, baik secara nyata maupun digital? Apakah kita menyapa warga di grup chat hanya saat butuh saja? Ataukah kita telah menjadi bagian dari jejaring sosial yang hidup dan saling menopang?
Kita bisa mulai dari hal kecil. Membantu menyebarkan info hajatan, menawarkan bantuan, atau sekadar mengucap ‘semoga lancar‘ di grup WA. Itu semua bagian dari merawat tetangga digital. Sebagaimana dhawuh para wali, “Wong urip iku kudu bisa aweh kabegjan kanggo sakupenge.” (Orang hidup itu harus bisa memberi keberkahan bagi sekelilingnya.)
Di era digital, tetangga tidak hanya di balik tembok rumah, tapi juga di balik layar. Dan, sebagaimana dalam dunia nyata, mereka pun perlu diapiki lan dimulyakake (diperlakukan secara baik dan dimuliakan). {*}
*) Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku, Kedamean, Gresik, Jawa Timur; anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik; juga pegiat dakwah digital, aktif dalam literasi Islam dan sosial kemasyarakatan.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







