MALANG (RadarJatim.id) — Komunitas Penyair Perempuan Indonesia (PPI) telah sukses menggelar agenda tahunan rutinitasnya, yakni Pulang ke Kampung Tradisi (PKT), kali ini dengan mengusung tema ‘Susur Sisir Tengger’ berlangsung selama bulan Juli 2025.
Pada edisi kelima ini mereka para penyair perempuan tak sekadar berwisata, melainkan menjalankan misi mulia untuk menggali, menelusuri, dan merawat tradisi lokal demi menjaga warisan budaya bangsa dari kepunahan.
Sebelumnya, PKT telah menyambangi berbagai daerah seperti Garut (2020), Yogyakarta (2021), Baduy (2023), dan Lampung (2024). Konsistensi ini menunjukkan komitmen PPI dalam mendokumentasikan serta mempopulerkan kekayaan budaya Indonesia melalui medium puisi.
Salah satu anggota PPI, Tri Wulaning Purnami menceritakan hasil penelusuran dan penyisiran Budaya Tengger yang ternyata lebih dari sekadar perjalanan.
Ia terangkan kalau tema ‘Susur Sisir Tengger’ di tahun 2025 ini memiliki makna mendalam. ‘Susur’ berarti menyusuri atau menelusuri secara mendalam, menyiratkan eksplorasi warisan budaya yang telah dimulai PPI sejak tahap perencanaan.
Ternyata menurut Camat Tumpang Firman Adinata, wilayah yang kita jujuk hari pertama, bahwa waktu sehari, seminggu, atau sebulan pun tak cukup untuk menyelami budaya Tengger. Sehingga memotivasi PPI untuk memuisikan Tengger sedalam-dalamnya.
Sementara itu, ‘Sisir’ mengacu pada aktivitas mencari atau menjelajahi dengan cermat, dengan pola terstruktur. PPI memang tak sekadar datang lalu pergi. Mereka merancang perjalanan PKT agar menghasilkan kontribusi nyata bagi sejarah negeri. Titik kumpul di Cengger Ayam, Malang, menjadi awal perjalanan bagi penyair dari berbagai penjuru Nusantara, seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Kupang, hingga Riau.
Menurutnya, pada hari pertama, peserta PKT mengikuti workshop penulisan puisi bersama Rini Intama di Rumah Budaya Ratna (RBR) yang dipandu Heti Palestina Yunani. Rini menekankan pentingnya riset dan penggunaan diksi yang tepat dalam menciptakan puisi. Antusiasme peserta, termasuk seorang siswi kelas tujuh, membuktikan daya tarik workshop ini. RBR sendiri dikenal selalu ramai pengunjung.
Malam harinya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Tumpang, tepatnya di Padepokan Seni Mangun Dharma. Setelah disambut Ki Sholeh, pimpinan padepokan, beberapa peserta bersama Ki Sholeh dan muridnya menyisir ke Candi Jago.
Dalam keheningan menjelang tengah malam, mereka menyaksikan ritual yang diiringi aroma hio, menciptakan suasana mistis. Ketua PPI, Kunni Masrohanti, turut serta dalam kegiatan ‘sisir’ malam itu. Dinginnya Tumpang membuat sebagian peserta memilih mandi menjelang subuh untuk menyesuaikan diri dengan suhu alam.
Dan di hari kedua, diawali dengan sarapan nasi pecel khas Tumpang yang mengundang selera. Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Ngadas, Poncokusumo, dengan pemandangan alam yang memukau. Di sana, mereka disambut hangat oleh Ibu Lurah Ngadas dan para Srikandi (termasuk Dukun Adat) dengan kebaya hitam dan sarung batik.
Saat sambutan, Bapak Lurah mengucapkan ‘Hong Ulun Basuki Langgeng,’ sapaan berisi doa keselamatan dan kesejahteraan. Peserta PKT pun serempak membalas, ‘Langgeng Basuki,’ yang berarti semoga senantiasa selamat dan sejahtera. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Tengger saling mendoakan dalam setiap pertemuan.
Sore harinya, peserta kembali ke Tumpang untuk persiapan Pagelaran Seni Budaya. Sajian rawon menghangatkan suasana dingin. Acara ini dihadiri Camat Tumpang, Ketua Dewan Kesenian Tumpang, serta Komunitas Sastra Malang. Para penyair PPI menutup acara dengan pembacaan puisi kolosal yang indah dan memukau.
Perjalanan ‘Susur Sisir Tengger’ telah menorehkan cerita di Cengger Ayam, Rumah Budaya Ratna, Padepokan Seni Mangun Dharma Tumpang, Candi Jago, Candi Kidal, Ngadas Tengger, hingga Monggo Nang Njago. Sebuah catatan inspiratif pun tertinggal di Kali Metro Malang. ‘Hidupkan Imajinasimu Dengan Secangkir Kopi’.(mad)







