Oleh Nanang Haromain
Sidoarjo salah satu kota satelit di pinggir Surabaya yang semestinya terkenal dengan kuliner lezat, sentra industri, dan sejarah panjang. Tapi apa daya, telinga orang Indonesia lebih sering mendengar nama Sidoarjo bukan karena lontong kupang atau bandeng presto, melainkan headline kasus korupsi. Seperti lumpur Lapindo yang tak kunjung kering, kisah-kisah korupsi disini mengalir dengan gencar, dan seringkali lebih licin daripada jalanan habis hujan.
Mau mulai darimana? Dari kasus-kasus yang menyeret kepala daerah sampai kepala desa, proyek-proyek mangkrak yang lebih banyak menguap anggarannya ketimbang manfaatnya? Atau dari pungutan liar di sekolah-sekolah yang sudah dianggap tradisi turun-temurun? Rasanya, Sidoarjo ini seperti punya paket lengkap. Mulai dari elite politik sampai birokrat kelas desa, semua kebagian panggungnya.
Terbaru, ada empat mantan kepala dinas yang ditetapkan jadi tersangka kasus hukum penyalahgunaan wewenang. Pada hari yang sama, ada kepala desa dan Ketua BPD di salah satu desa yang juga ditangkap karena kasus hukum juga.
Yang lucu atau mungkin tragis, korupsi di Sidoarjo sudah seperti branding. Kalau daerah lain sibuk promosi wisata, Sidoarjo diam-diam promosi kasus. Bahkan orang luar kota kadang berseloroh, “Oh Sidoarjo? Itu kan kota yang tiga bupatinya beruntun kena kasus korupsi ya”.
Dinamika politiknya juga tidak kalah panas. Bisa jadi beberapa kasus korupsi ini juga tidak lepas dari nuansa politik. Politik Sidoarjo sekarang lebih mirip Wayang Gagrak Porong, lakonnya nggak jelas, dalangnya banyak, penonton pun bingung harus tepuk tangan atau geleng kepala.
Sidoarjo sebenarnya kaya budaya, punya akar tradisi kuat. Kalau ruwatan adat dilakukan, itu bukan sekadar buang sial, tapi mengikat kembali nilai-nilai luhur gotong royong, kejujuran, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai yang entah kenapa, makin kesini, makin langka dipanggung politik lokal.
Sidoarjo juga memiliki aura spiritual yang kuat, karena memang memiliki sejarah panjang terkait penyebaran agama Islam dan keberadaan tokoh-tokoh agama atau wali yang dipercaya berasal dari Sidoarjo.
Melihat dinamika politik pemerintahan Sidoarjo yang selalu penuh warna, ada yang bilang, “Wah, ini daerah perlu diruwat!”. Seperti rumah tua yang kemasukan banyak “energi negatif” karena sering dijadikan tempat titip janji-janji palsu.
Jadi, apakah Sidoarjo perlu diruwat? Mungkin iya. Sebab kalau dibiarkan, lama-lama korupsi bukan lagi dianggap kejahatan, tapi “kewajaran birokrasi”. Dan, itu lebih menakutkan daripada semburan lumpur Lapindo.
Tapi ruwatan yang bukan sekadar ritual bakar kemenyan dan tabur bunga. Yang perlu diruwat adalah niat, mental, dan moral para pemimpin. Sebab kalau mereka tetap keras kepala, tidak mau merubah niat dan sikap, mau dilarung ke Kali Porong pun, situasinya tetap akan balik lagi seperti lumpur Lapindo yang tidak bisa benar-benar kering.
Jadi, kalau mau ngeruwat Sidoarjo, mungkin kita perlu sesajen istimewa. Yaitu moral dan janji politik yang menempatkan kepentingan masyarakat diatas segalanya, bukan cuma dipajang di baliho. (*)
*) Nanang Haromain, Peneliti IRPD dan Komisioner KPU Sidoarjo periode 2014-2019, tinggal di Sidoarjo.







