Oleh Ahmad Chuvav Ibriy
Kasus dugaan korupsi kuota haji kembali menyeruak dan menjadi perhatian publik. Sayangnya, isu ini kerap ditarik-tarik ke ranah identitas dan organisasi kemasyarakatan (ormas), seolah-olah ada kelompok tertentu yang paling bersalah. Padahal, faktanya, nama-nama yang muncul berasal dari berbagai latar belakang: ada Ustadz Khalid Basalamah dari kalangan Salafi, ada Prof Hilman Latief dari Muhammadiyah yang saat ini menjabat Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, hingga mantan Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas dari NU.
Peta ini dengan sendirinya menegaskan, bahwa masalah kuota haji bukanlah persoalan ormas atau aliran, melainkan persoalan sistem, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya integritas dalam mengelola amanah umat. Karena itu, cara pandang yang paling sehat adalah memandang kasus ini sebagai urusan keadilan bagi bangsa, bukan alat untuk menyerang kelompok tertentu.
Korupsi Merugikan Umat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa sejumlah tokoh, termasuk pejabat Kemenag dan pengelola biro perjalanan haji. Dari keterangan yang beredar, tampak jelas adanya praktik jual-beli kuota dengan dalih “percepatan” keberangkatan. Jamaah yang mestinya menunggu bertahun-tahun, bisa berangkat lebih cepat hanya dengan menambah biaya ribuan dolar AS. Praktik semacam ini merusak prinsip kesetaraan dalam ibadah haji dan menambah panjang antrian jamaah reguler.
Meski ada yang berkilah bahwa “negara tidak dirugikan” karena uang itu bukan berasal dari APBN, logika hukum dan rasa keadilan umat berkata sebaliknya. Kuota haji adalah aset publik yang diatur ketat, bukan komoditas dagangan. Begitu kuota diperdagangkan, sesungguhnya negara telah dirugikan: kepercayaan publik terkikis, rasa adil jamaah dilukai, dan amanah umat diperdagangkan.
KPK Jangan Menunda
Yang membuat publik gelisah adalah lambannya KPK menetapkan tersangka. Kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan, uang sudah ada yang dikembalikan, tetapi nama tersangka belum juga diumumkan. Akibatnya, muncul spekulasi dan bola liar di masyarakat.
Pepatah hukum menyebut, justice delayed is justice denied—keadilan yang ditunda sama saja dengan keadilan yang ditolak. KPK perlu segera bersikap tegas: siapa pun yang terlibat, dari ormas apa pun, harus diproses tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara itu kepercayaan publik bisa pulih.
Menegakkan Keadilan
Prof Nadirsyah Hosen mengingatkan agar umat tidak terjebak pada narasi ormas. Yang sedang diuji di sini bukanlah Salafi, Muhammadiyah, atau NU, melainkan konsistensi bangsa ini dalam menegakkan hukum. Firman Allah dalam QS An-Nisā’ [4]:135 jelas memerintahkan orang-orang beriman untuk menjadi penegak keadilan, meski harus melawan diri sendiri, orang tua, atau kerabat dekat.
Ayat ini memberikan pesan moral yang sangat relevan: jangan sampai kita terjebak dalam fanatisme kelompok, hingga menutup mata pada keadilan. Korupsi kuota haji adalah pengkhianatan terhadap amanah umat. Siapa pun pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban.
Kasus kuota haji adalah ujian serius bagi bangsa. Apakah kita berani menegakkan hukum meski menyakitkan kelompok sendiri, ataukah kita memilih membela dengan dalih identitas? Sejarah akan mencatat pilihan kita.
Sudah saatnya semua pihak menaruh hormat pada keadilan, bukan pada bendera ormas. Karena di hadapan Allah kelak, yang ditanya bukanlah afiliasi kita, melainkan apakah kita telah menegakkan kebenaran dengan jujur. Allāhu A‘lam bi al-Ṣhawāb. (*)
*) Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku, Kedamean, Gresik; Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik, Jawa Timur.






