Oleh Nuzla Aimmatu Rasyida
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan perjalanan panjang. Sementara dalam perjalanan, sarana yang dipergunakan tidak selalu sama. Ada yang menggunakan mobil, ada yang menggunakan motor, atau transportasi lainnya.
Dalam perjalanan, ada yang baru melintas beberapa meter, tapi sudah harus mengisi bensin (bahan bakar) dulu. Ada pula yang sudah berjalan agak jauh, baru mengisi bahan bakar dulu. Sebelum berangkat pun persiapannya bisa berbeda-beda. Ada yang berani berangkat sendiri. Ada yang harus di antar ayah dan ibunya. Bahkan, ada yang perlu diantar ayah, ibu, nenek, dan kakeknya. Semua itu terlibat dalam proses perjalanan anak usia dini.
Makna Pendidikan
Beberapa waktu menjadi guru, membuat diri ini kagum dengan dinamika yang ada di lapangan. Selalu ada hal baru yang harus dipelajari. Dan, dari sekian banyak hal baru itu, tetap ada titik krusial untuk membangun fondasi manusia ini. Di antarnya, terkait karakter, keterampilan sosial, kemampuan berbahasa, dan bagaimana cara anak memandang sesuatu.
Untuk anak, semua itu bisa didapatkan dengan cara bermain. Sebagai guru, fasilitator, dan orang tua, yang perlu dilakukan adalah memastikan anak-anak berkembang dengan sehat, aman, dan utuh. Konsekuensinya, membantu anak menemukan potensi dirinya merupakan keniscayaan. Yang terpenting, tidak memaksa anak untuk selalu sama dengan temannya.
Ketika anak mampu bercerita dengan kata-kata sederhana, itulah pertanda pendidikan tengah berproses. Ketika anak antre akan cuci tangan di sekolah atau tempat umum, itu juga poses pendidikan. Berusaha diam dan mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, itu juga proses pendidikan. Demikian pula menghitung jumlah teman yang masuk kelas pada jam sekolah, itu juga pendidikan.
Banyak yang bisa dipelajari anak-anak selama berproses dalam pendidikan. Ketika semua pendidikan itu dilakukan dengan senang hati, anak akan berani mencoba hal baru, tanpa takut salah, tanpa takut dihakimi, dan itu pelajaran penting.
Pendidikan tidak hanya tentang ’Apa yang sudah kamu tahu?’, tetapi ’Akan bertumbuh menjadi siapa kamu nanti?’ dan yang disebut, pasti menjadi idola anak, pernah atau selalu melakukan hal yang berkesan, dan itu mahal harganya.
Pertanyaan ’Apa yang sudah kamu tahu?’ hanya mengukur level C-1 pada Taksonomi Bloom. Peran itu kini bisa digantikan oleh Google atau produk kecerdasan artifisial (artificial intellegence/AI) yang kini lagi ngetren. AI merupakan teknologi yang memungkinkan komputer dan mesin untuk meniru kecerdasan manusia, seperti belajar, bernalar, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan memahami bahasa. AI memanfaatkan data dalam jumlah besar untuk mengenali pola, membuat prediksi, dan melakukan tugas-tugas yang kompleks secara otonom, mulai dari asisten virtual hingga kendaraan otonom dan analisis prediktif.
Jika guru hanya berkutat pada C-1, guru akan ditinggalkan anak. Kehadiran guru harus juga membimbing anak mampu menerapkan ilmu (C-3), bahkan hingga menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mengkreasi (C-6). Guru yang berperan demikain akan dikenang anak. Anak mendapat kesan dari guru di kelas yang telah membimbing dan melatihkan menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mengkreasi,
Peran guru tidak hanya berhenti pada ruang kelas, tetapi guru bisa menjadi jembatan penghubung antara orang tua dan lingkungan sosial anak. Karena sebagai jembatan, dalam bersikap dan bertindak guru harus seimbang, tidak berat sebelah. Pendidikan bermakna membutuhkan kolaborasi yang efektif antara orang tua yang memahami anaknya, bukan hanya menuntut dengan capaian-capaian tertentu.
Ketika guru dan orang tua memiliki tujuan yang sama, yaitu melindungi masa emas anak dan tetap memaksimalkan tumbuh kembangnya, pendidikan akan jauh lebih kuat. Kolaborasi yang berkualitas antara guru dan orang tua, menjadikan anak tidak bingung dan memiliki pijakan yang kokoh dalam menjalani proses pendidikan.
Anak masih berada pada fase awal mengenal nilai baik-buruk, bermanfaat-tak bermanfaat, sehat-tak sehat, aman-bahaya, serta nilai-nilai lain yang melingkunginya. Kolaborasi akan sangat memudahkan anak melakukan penubian (drill) pembiasaan nilai positif dalam kehidupan.
Akar Pendidikan
Mendidik berakar dari educare yang berarti ’meletupkan, meledakkan’. Dengan demikian, tugas pendidik bukan menyuapi anak, memaksa anak, dan mengindoktrinasi nilai pada anak. Akan tetapi, proses pendidikan harus menjamin kondisi agar anak berkembang secara alamiah, sehat, dan terlindungi.
Dalam proses ini guru berperan utama sebagai pembimbing. Karenanya, sebagai pembimbing, guru akan selalu berusaha menyesuaikan keberadaannya dengan kebutuhan anak. Pembimbing selalu ”merendahkan” tangannya agar mudah ditangkap oleh anak yang sedang belajar berjalan.
Pembimbimbing juga akan selalu mendekatkan telinganya ke bibir anak saat ingin mendengaran sesuatu yang dibicarakan anak. Pembimbing akan selalu menatap dengan senyum kepada anak dan berbicara dengan simpati dengan suara ”secukupnya” kepada anak ketika memberikan instruksi, perintah, arahan, dan nasihat.
Sebagai pembimbing, guru sadar, bahwa tugasnya adalah membebaskan anak dari pengaruh negatif yang menghambat perkembangannya. Guru meyakini, bahwa dengan ”fitrah kodrat super” yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada anak, anak akan –secara alamiah– dapat menyelesaikan tugas perkembangan dan masalah hidupnya kelak.
Ibaratnya, peran guru adalah menyingkirkan gulma yang mengganggu tumbuhnya sebuah tanaman. Guru, sebagaimna juga orang tua, memiliki tugas dan peran utama melindungi anak agar perkembangannya tidak terganggu oleh pengaruh-pengaruh negatif lingkungan.
Dari kaca mata neurologi, otak anak sudah terdesain untuk menyelesaikan masalah. Setiap otak anak memiliki 100 miliar neutron dan sistem kerja neutron ini setara dengan 100 komputer tercanggih di zamannya. Untuk itu, sebenarnya jika tanpa gangguan dan gulma, setiap anak dipastikan memiliki keterampilan hidup (life skills) untuk memecahkan tantangan hidupnya kelak.
Persoalannya adalah, karena keterampilan hidup di masa dewasa itu dipengaruhi oleh perjalanan perkembangan di masa awal menjadi manusia, di antaranya masa pendidikan anak usia dini (PAUD), menjadikan lembaga pendidikan untuk anak usia dini menjadi tempat yang aman, nyaman, ramah, dan ”benar” secara teori dalam mendampingi proses perkembangan menjadi penting.
Karena itu, sudah seharusnya menjadikan lembaga pendidikan anak usia dini sebagai taman dan memerankan para pendidik menjadi perawat taman yang selalu mendasarkan pada ilmu psikologi, ilmu neurologi, dan ilmu pedagogi menjadi penting.
Guru tidak boleh berhenti berefleksi terhadap yang sudah dilakukan. Apakah selama ini metode dan teknik mengajar sudah benar menurut ilmu? Apakah yang sudah dilakukan sudah menjamin kemerdekaan anak berkembang sesuai potensinya? Apakah pendampingannya selama ini tidak melukai fisik dan psikis anak yang dalam jangka panjang bisa menimbulkan kompensasi negatif sebagaimana yang dijelaskan dalam psikoanalisis?
Menata batu bata fondasi perkembangan anak menjadi manusia dewasa adalah pekerjaan amat mulia. Akan lebih mulia jika dilakukan dengan tiga syarat, sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah, yaitu harus didasari ilmu, harus dilakukan dengan bersistem, dan harus dilakukan dengan ikhlas. {*}
*) Nuzla Aimmatu Rasyida, mahasiswa Magister Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang dan guru TK Aisyiyah Bustanul Athfal 45 Bambe, Kecamatan Driyorejo, Gresik, Jawa Timur.





