oleh Arik S. Wartono
Pameran tunggal ke-4 Anang Prasetyo, Tak Sengguh Kemanten Anyar, adalah sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang mendalam. Seperti dikatakan Anang Prasetyo sendiri, “Urip mung sakdermo nglampahi“. Kita hidup adalah hanya sebatas menjalaninya apa yang dikehendaki-Nya.
Saya mengenal sosok Anang Prasetyo selama lebih dari 30 tahun, sejak kuliah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), masih di kampus Ketintang yang namanya juga belum Unesa, tapi IKIP Surabaya.
Pergaulan kami semakin intens, terutama dalam lima tahun terakhir dan mas Anang Prasetyo telah banyak memberian tulisan pengantar untuk pameran anak-anak Sanggar DAUN, baik pameran bersama maupun pameran tunggal, sanggar seni rupa yang saya dirikan dan asuh telah berkiprah pada seni rupa anak baik skala nasional maupun internasional selama 21 tahun.
Dalam pameran ini, Anang Prasetyo menampilkan tiga karya utama: “Kembar Mayang“, “Anak Peradaban“, dan “Laku Lampah“. Ketiganya menjadi akumulasi pemikiran tentang perjalanan proses kreatifnya. Tak Sengguh Kemanten Anyar, sebagai ruang reflektif, imajinatif, dan dialektis yang tak akan selesai dan seolah tak berkesudahan.
Anang Prasetyo juga membagikan pengalaman pribadinya, bagaimana pameran ini menjadi sebuah fenomena dan kenyataan, ketika anaknya menikah dan menjadi kemanten anyar. Ini menunjukkan, bahwa seni dan kehidupan tidak dapat dipisahkan, dan bahwa kebahagiaan dapat ditemukan dalam setiap momen kehidupan.
Tak Sengguh Kemanten Anyar juga merupakan sebuah upaya untuk menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran Islam. Anang Prasetyo menunjukkan, bahwa seni dan spiritualitas dapat menjadi sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan dan peradaban.
Dalam kata-katanya, Anang Prasetyo mengajak kita untuk terus belajar, menggali, dan mengambil hikmah dari setiap pengalaman hidup. Pameran ini adalah sebuah undangan untuk merenungkan makna kehidupan, kebahagiaan, dan peradaban, dan untuk menemukan keseimbangan dalam diri kita sendiri.
“Anak Peradaban” adalah sebuah karya seni instalasi yang menarik, kreasi Anang Prasetyo, seorang seniman dan guru yang kreatif. Karya ini merupakan perpaduan harmonis antara wayang godong, lukisan akrilik, dan buku-buku diary visual karya murid-muridnya.
Wayang godong, sebagai fokus utama, merupakan figur-figur wayang yang terbuat dari daun dengan penyangga kayu atau gapitan yang ditancapkan pada gedebog pisang, mirip dengan wayang kulit. Teknik ini menunjukkan keahlian Anang Prasetyo dalam mengolah bahan alami menjadi karya artistik yang kaya metafor.
Lukisan hitam putih media akrilik di atas kanvas yang membentang memenuhi dinding galeri Merah Putih sisi barat menjadi background karya instalasi “Anak Peradaban“, hasil karja bersama murid-muridnya menambahkan dimensi lain pada karya ini, menciptakan suasana kebersamaan yang mendalam. Buku-buku diary visual karya murid-muridnya menambahkan sentuhan personal dan emosional, membuat karya ini menjadi lebih bermakna.
Hadirnya wayang godong tentu menarik perhatian saya, bukan hanya karena nyambung dengan nama sanggar DAUN. Ini karya yang perlu mendapat detail perhatian serta perlu pengembangan lebih intens, dan saya berharap karya ini suatu saat dimainkan oleh mas Anang Prasetyo dalam sebuah pertunjukan khusus dengan beliau sendiri bertindak sebagai dalang, seperti langkah yang pernah dikerjakan oleh Sunan Kalijaga memalui wayang kulit Purwa.
Leluhur kita sebenarnya jauh lebih “kontemporer” dari generasi hari ini, ketika seni rupa tidak dipisah dalam skat-skat disiplin ilmu yang tak perlu dan wujud seni selalu dituntut untuk migunani, yakni kebermanfaatan yang mendalam bagi kehidupan bahkan bukan hanya bagi manusia, tapi bermanfaat bagi kelestarian semesta.
Pertunjukan wayang godong itulah yang saya nantikan untuk dipentaskan suatu saat nanti, lengkap dengan iringan gamelan serta perangkat pendukungnya dengan narasi lakon yang relevan bagi generasi hari ini, sebuah karya seni tontonan sekaligus tuntunan.
Bagi saya, karya instalasi “Anak Peradaban” adalah sebuah refleksi atas perjalanan spiritual dan intelektual Anang Prasetyo, yang terus mencari keseimbangan antara logika, etika, dan estetika. Karya ini juga merupakan sebuah undangan untuk merenungkan makna kehidupan, kebahagiaan, dan peradaban, dan untuk menemukan keseimbangan dalam diri kita sendiri.
Dengan gaya visual maupun tulisannya yang puitis dan sufistik, Anang Prasetyo mengajak kita untuk melihat karya ini sebagai sebuah perjalanan spiritual, sebuah pencarian akan makna dan kebahagiaan. “Anak Peradaban” adalah sebuah karya seni yang memukau, sebuah refleksi atas keindahan dan kompleksitas kehidupan manusia.
Pameran Tak Sengguh Kemanten Anyar adalah sebuah noumena, sesuatu di luar apa yang terjadi. Ini menunjukkan, bahwa pameran ini tidak hanya sekedar pameran seni, tapi juga sebuah refleksi atas perjalanan hidup sang seniman, yang juga seorang guru, dalam mencari keseimbangan antara logika, etika, dan estetika. {*}
Gresik, 29 November 2025
*) Arik S. Wartono, Pendiri dan Pembina Sanggar DAUN







