KEDIRI (RadarJatim.id) – Tantangan era digital dan disrupsi teknologi menuntut lembaga pendidikan Islam memperkuat tata kelola kelembagaan serta pembinaan kesiswaan. Hal itu mengemuka dalam Ngobrol Pendidikan Islam (Ngopi) yang digelar di Hotel Bukit Daun, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Sabtu (20/12/2025).
Kegiatan tersebut digelar dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Islam, khususnya dalam menghadapi perubahan zaman yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, budaya, dan arus informasi.
Dalam forum itu ditegaskan, bahwa kelembagaan dan kesiswaan merupakan dua unsur penting dalam lembaga pendidikan Islam. Kelembagaan berperan sebagai sistem dan manajemen pendidikan, sementara santri atau siswa menjadi subjek utama yang menentukan hidup dan matinya lembaga.
Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PKB, KH An’im Falachuddin Mahrus, mengatakan, bahwa eksistensi lembaga pendidikan Islam sangat ditentukan oleh manajerial dan kepemimpinan yang berilmu.
“Kalau ingin tetap eksis, syarat utamanya adalah pengelolaan kelembagaan yang baik dan dipimpin oleh pemimpin yang berilmu. Dari situ akan lahir kebijakan yang bijaksana,” tandas KH An’im.
Ia menilai, prestasi sejumlah madrasah yang diakui di tingkat nasional hingga internasional menjadi bukti, bahwa lembaga pendidikan Islam mampu bersaing apabila dikelola secara profesional. Selain manajemen, ia menekankan pentingnya kaderisasi sumber daya manusia di lingkungan madrasah dan pesantren.
“Kaderisasi itu penting agar lembaga pendidikan Islam mampu menyiapkan generasi yang dibutuhkan oleh perkembangan zaman. Di era modern, masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang profesional di bidangnya masing-masing,” ujarnya.
KH An’im juga menyoroti hubungan antara guru, santri, dan wali murid. Menurut dia, pendidikan harus dipahami sebagai proses pembinaan, bukan semata-mata dilihat dari kekurangannya.
“Guru itu mendidik, bukan untuk mencelakakan. Wali murid harus sadar bahwa anak dititipkan untuk dididik. Jangan mudah membawa persoalan pendidikan ke ranah hukum,” katanya.
Terkait penggunaan teknologi, ia menegaskan perlunya sikap selektif. Menurutnya, teknologi informasi harus diajarkan sebagai bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan, namun penggunaan media sosial yang berdampak negatif perlu dibatasi.
Sebagai contoh, di Pesantren Lirboyo telah diterapkan kebijakan pembatasan penggunaan telepon genggam bagi santri di bawah usia 20 tahun. Jika pun digunakan, harus dalam pengawasan.
“Santri harus mampu mengatur waktu dan bersikap disiplin di era digital agar tidak tergerus dampak negatif teknologi,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, KH An’im juga menyampaikan harapan agar pemerintah, khususnya Kementerian Agama, terus memperkuat peran dan dukungan terhadap pesantren.
“Pesantren harus tetap mendapat perhatian agar bisa eksis dan berdaya di tengah kemajuan zaman,” pungkasnya. (rul)







