Sidoarjo (radarjatim.id) Lagi-lagi Peraturan Bupati (Perbup ) Sidoarjo Nomor 36 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perbup nomor 31 tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam penanganan wabah Corona Virus Disease (Covid) 19 di Kabupaten Sidoarjo mulai disoal warga.
M. Husni Thamrin, SH, MH, salah satu praktisi hukum Sidoarjo mengatakan bahwa dalam Perbup Nomor 36 Tahun 2020 ada sanksi bagi warga yang melanggar PSBB akan dilakukan penyitaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kendaraan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kabuapten Sidoarjo.
“Aturannya sudah jelas. Hanya penetapan pengadilan saja yang bisa dijadikan dasar hukum penyitaan harta warga negara Indonesia, baik personal maupun lembaga. Diluar itu tidak boleh,” katanya.
Ketua Himpunan Putra-Putri Keluarga Angkatan Darat (HIPAKAD) Sidoarjo itu mencontohkan bahwa polisi saja hanya diperkenankan menahan sementara kendaraan bermotor milik rakyat jika kedapatan tidak membawa Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) ataupun surat-surat kendaraan lainya.
Namun setelah yang bersangkutan mampu menunjukkan surat-surat kendaraannya, maka alat transportasi itu harus diserahkan lagi kepada pemiliknya yang digantikan dengan penahanan STNK sebagai barang bukti pelanggaran.
“Dalam paparan Kapolresta Sidoarjo yang disebarluaskan pada masyarakat, jelas tertulis bahwa Sat Pol PP akan menyita KTP atau kendaraan bermotor yang didasarkan pada Perbup nomor 36 tahun 2020 tentang PSBB. Ini khan bertentangan dengan piranti hukum diatasnya,” terangnya.
Pria yang akrab disapa Mas Uus itu menegaskan bahwa PSBB tidak perlu diberlakukan di Kabupaten Sidoarjo apalagi sampai diembeli-embeli ancaman hukuman pada rakyat.
“Presiden saja mengatakan kita harus hidup berdamai dengan corona, lalu kenapa keputusan Bupati Sidoarjo justru bertentangan dengan Presiden,” tegasnya.

Menurut Mas Uus, seharusnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo dan Pemerintah Propinsi Jawa Timur (Pemprop Jatim) harus mematuhi anjuran Presiden Republik Indonesia (RI) yang meminta warganya hidup berdampingan dengan virus corona dan virus-virus lainnya.
“Selain itu rakyat Indonesia harus beradaptasi dengan tatanan dunia baru yang terjadi saat ini,” ucapnya.
Ia juga menuturkan bahwa yang perlu dibiasakan itu adalah menjadikan protokol kesehatan sebagai gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari, seperti selalu menggunakan masker dan menjaga kebersihan tubuh.
Baginya pemberlakuan PSBB tidak menjamin warga Kabupaten Sidoarjo terbebas dari Covid-19, namun yang bisa dipastikan bahwa kebijakan ini telah mengakibatkan dampak sosial dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada urusan kesehatannya.
“Tidak ada orang yang meninggal dunia karena virus corona, semua karena penyakit bawaan/penyerta. Bandingkan dengan Demam Berdarah (DB,red), dimana virus itu sendiri yang menyebabkan penderitanya meninggal. Lalu kenapa bisa sampai membuat orang kehilangan penghasilan. Ini namanya membakar gudang beras untuk membunuh tikus kecil,” tuturnya.
Selain itu, Mas Uus juga menyoroti tentang penggunaan Undang-Undang (UU) Karantina sebagai salah satu landasan hukum pembuatan Perbup tersebut, dimana penerapannya dianggap tidak konsekuen.
“Silahkan pakai itu. Tapi dalam UU Karantina jelas disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban memenuhi semua hajat hidup rakyat yang dikarantina,” tambahnya.
Kalau UU Karantina yang dijadikan landasan, maka pemenuhan kebutuhan makan, minum, biaya listrik, air bersih, jaminan kesehatan, biaya pendidikan dan lain-lain ditanggung oleh pemerintah,
Tentunya hal itu akan mengeluarkan anggaran yang jauh lebih besar daripada bantuan sosial (bansos) berupa sembako ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah setiap bulannya.
“Berpikirlah sesuai dengan kondisi rakyat. Jangan menggunakan ukuran para pejabat yang bisa menikmati hidup dengan menggunakan uang rakyat. Kalau semua rakyat mati karena miskin, darimana mereka dapat gaji,” pungkasnya. (mams)







