Oleh YUPITER SULIFAN
Pandemi Covid-19 turut memengaruhi kualitas pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Wabah Covid-19 yang telah melanda negara kita sudah berjalan lebih dari dua tahun. Dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat.
Bersyukur, tren kasus positif Covid-19 dalam beberapa pekan ini mulai menurun. Pemerintah pun melonggarkan sejumlah aturan. Salah satunya aturan pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah
Sebuah studi baru dari Bank Dunia menyajikan perkiraan kerugian pembelajaran anak-anak akibat penutupan sekolah terkait Covid-19 di Indonesia. Bank Dunia memperkirakan penutupan sekolah hingga Juni 2021 telah mengakibatkan hilangnya sekitar 0,9 tahun pembelajaran.
Selain itu, penutupan sekolah juga menurunkan 25 poin skor PISA Programme for International Student Assessment (PISA) siswa di bidang membaca. PISA merupakan metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global. (infopublik.id, 6 Oktober 2021)
“Jumlah pembelajaran yang hilang lebih ditentukan oleh kualitas dukungan pembelajaran terhadap siswa daripada durasi penutupan sekolah,” kata peneliti Bank Dunia untuk Indonesia Noah Yarrow dan Rythia Afkar dalam tulisannya di blog.wordbank.org, 17 September 2021.
Selama pandemi Covid-19 berlangsung, kata mereka, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya besar untuk mengurangi dampak pandemi pada sistem sekolah. Seperti kurikulum darurat, TV pendidikan, dan subsidi pulsa internet untuk meningkatkan akses siswa terhadap pembelajaran jarak jauh.
Namun, hasil dari upaya ini beragam. Misalnya, anak usia sekolah yang menonton TV pendidikan antara Mei hingga November 2020 turun dari 56 persen menjadi 10 persen.
Selain itu, menurut temuan Bank Dunia, pemberian pulsa internet tidak signifikan meningkatkan jumlah siswa yang mengakses pembelajaran daring, meskipun jumlah waktu yang mereka habiskan untuk pembelajaran jarak jauh setiap harinya meningkat.
Hasil evaluasi yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek tahun lalu menyebut walaupun pembelajaran jarak jauh sudah terlaksana dengan baik, tetapi terlalu lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka akan berdampak negatif bagi anak didik. Dampak negatif itu di antaranya:
- Ancaman Putus Sekolah
Risiko putus sekolah menjadi makin besar karena anak terpaksa harus bekerja membantu perekonomian keluarga di tengah krisis pandemi COVID-19. Persepsi orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar juga menjadi penyebab banyak orang tua memutuskan untuk menghentikan anak sekolah. - Penurunan Capaian Belajar Anak
Fakta dilapangan menyebutkan bahwa pembelajaran di kelas menghasilkan capaian akademik yang lebih baik. Perbedaan akses, kualitas materi yang didapat anak, juga sarana yang tersedia di rumah dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, khususnya bagi anak yang terbatas secara sosial dan ekonomi.
- Kendala Tumbuh Kembang
Perbedaan akses dan kualitas membuat kesenjangan capaian belajar terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda. Hilangnya pembelajaran tatap muka secara berkepanjangan juga berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang baik secara kognitif maupun perkembangan karakter. - Tekanan Psikososial dan KDRT
Minimnya interaksi sosial dengan guru, teman serta lingkungan, ditambah tekanan pembelajaran jarak jauh dapat menyebabkan anak stres. Selain itu, banyak juga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan anak dan tidak terdeteksi karena kurangnya akses dan interaksi dengan pihak luar seperti guru.
Karena dampak itu, pemerintah pun membuka kembali pembelajaran tatap muka dengan tetap mengutamakan protokol kesehatan. Pembelajaran tatap muka terbatas sudah mulai dilakukan secara bertahap sejak Oktober 2021. Kini, di awal tahun 2022, pemerintah mulai mengeluarkan keputusan baru mengenai hal tersebut.
Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri terbaru, Kemendikbudristek, Kemenkes RI, Kemenag RI, dan Kemendagri RI memberlakukan panduan penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas yang berlaku mulai Januari 2022.
Surat keputusan tersebut berisi tentang peraturan yang lebih rinci. PTM terbatas yang mulanya memiliki aturan yang sama untuk semua sekolah, kini disesuaikan berdasarkan vaksinasi guru, tenaga kependidikan, serta warga masyarakat lanjut usia (lansia).
Selain itu, pelaksanaan PTM terbatas pun disesuaikan dengan level PPKM di daerah masing-masing sekolah. Pemda tidak boleh melarang PTM terbatas bagi yang memenuhi kriteria dan tidak boleh menambahkan kriteria yang lebih berat.
Pengambilan kebijakan pada sektor pendidikan seperti ini bagi para pendidik laiknya sebuah harapan baru akan kecemerlangan generasi muda di masa yang akan datang. Bukan sekedar dampak yang ditimbulkan saat pembelajaran jarak jauh melainkan selama PJJ ini yang banyak dikeluhkan guru dan orangtua.
Betapa tidak, banyak hal yang terjadi saat PJJ berlangsung, menurunnya motivasi belajar anak yang berpengaruh pada menurunnya prestasi belajar anak. Bahkan banyak anak yang keranjingan main game online di gawainya. Disiplin anak juga menurun, bangun tidur makin siang karena PJJ tidak mengharuskan hadir secara fisik saat belajar.
Banyak keluhan lainnya yang terlontar dari orangtua ke sekolah. Dengan PTM ini, kegusaran, keluh kesah guru dan orang tua perlahan namun pasti akan segera terobati. Dan jangan heran, marah tatkala melihat si anak masih enggan bangun pagi untuk pergi ke sekolah.
Semua ini akan menjadi terbiasa seperti sebelum pandemi dulu bila kita sebagai orang tua memberikan pendampingan dan kasih sayang kepada anak. Bukankah kesuksesan anak itu merupakan tanggung jawab kita bersama? (*)
*) YUPITER SULIFAN, Guru BK SMAN 1 Taman Sidoarjo







