Oleh FRITZ HARYADI
Dengan subscribers rata-rata remaja usia sekolah, Atta Halilintar menayangkan video malam pertamanya pasca-menikah. Tercatat sekitar 5 juta penonton hanya dalam tempo 24 jam.
Tentu tidak ada konten porno, karena platform melarangnya. Tetapi, ini menambah dosis baru dalam asupan kebodohan yang sudah terlalu lama dicekokkan kepada generasi muda kita. Ironisnya, fenomena semacam ini berulang dan terus berulang.
Atta, dan banyak youtuber dengan tipe konten serupa, berada di kotak yang sama dengan sinetron, infotainment gosip, hingga gerakan agama yang puritan radikal: mereka semua bad influencers, pembawa pengaruh buruk.
Istri saya yang mengajar di SMP, sudah dua tahun ini mengajak ngobrol anak-anak didiknya yang menjadi subscriber Atta. Rata-rata mereka mengaku hanya ikut-ikutan tren, tanpa berpikir panjang tentang dampaknya, seperti bisa diduga.
Yang disukai anak-anak ini dari channel Atta di antaranya konten prank, pamer mobil mahal, pamer keseharian yang bergelimang kemewahan, dan ucapan “asiyaaap” yang menjadi trademark-nya.
Pendeknya, Atta adalah perpanjangan dari sinetron. Ia menghadirkan bukti, bahwa kebodohan fiktif bisa menjadi nyata. Dan untuk jasa itu, anak-anak kita rela menimbunnya dengan uang.
Dalam sesi obrolan dengan anak-anak didiknya, istri saya mendapati, bahwa mereka tidak mengerti bagaimana alurnya, sehingga subscribe dan jempol mereka bisa menjadi uang buat Atta. Saat dijelaskan, mereka pun mulai berpikir, mulai bisa menangkap ketidakadilan di hadapannya.
Orang tuanya banting tulang untuk membelikan pulsa mereka. Mereka lalu habiskannya untuk menonton channel Atta; sambil tidak mendapat manfaat apa-apa selain mengikuti tren, hanya untuk bisa nyambung dengan apa yang dibicarakan teman-temannya, hanya untuk menjadi pengikut. Tak disadari, bahwa dalam keasyikannya, mereka kehilangan waktu untuk belajar.
Tiap tipe konten Atta dibahas dalam obrolan itu. Tentang prank, istri saya menjelaskan, bahwa itu bentuk bullying; hal yang sedang diperangi di lingkungan sekolah di seluruh dunia. Tentang pamer kekayaan, digalinya aspirasi anak-anak didik; kalau teman pamer kekayaan, bagaimana perasaan mereka? Ternyata tidak senang. Lalu mengapa senang saat dipameri orang lain lewat layar internet?
Pamer kekayaan adalah konsep vanity. Ini konsep yang sukar diterjemahkan dalam bahasa kita; sebab dalam budaya kita belum ada karsa untuk mengatai fenomena itu.
Terjemahan yang biasa dipakai untuk vanity adalah ‘kefanaan’. Namun, ini jauh dari akurat. Yang paling dekat adalah ‘pamer kekayaan’, tapi ini pun baru sebagian.
Kata dasar dari vanity adalah ‘vain’, artinya kosong, hampa, sia-sia. Maka, vanity adalah sikap kesia-siaan, kekosongan, sikap mementingkan kulit tanpa peduli isi. Pencitraan adalah tindakannya, vanity adalah sifatnya. Ironis, ini karakter paling mendasar dari bangsa kita, namun kita tidak punya nama untuknya.
Sesi obrolan itu diakhiri dengan langkah konkret, yang saya dukung lahir-batin. Ia minta anak-anaknya unsubscribe channel Atta. Kalau bisa jangan tonton lagi. Kalau masih terasa berat, tonton saja, tapi jangan subscribe. Habis nonton, jangan lupa dislike. Jempol turun. Atta boleh kaya dari mana saja, tapi jangan dari anak-anak kita.
Istri saya seorang wali kelas dan guru Bahasa Inggris. Ia mengajak anak didiknya menyelami nalar mereka sendiri, perasaan mereka sendiri; merangsang kepekaan sosial, lalu membimbing mereka mengambil tindakan nyata.
Ini solusi. Inilah pendidikan karakter. Guru-guru se-Indonesia perlu mengambil langkah remedial yang dicontohkan di atas. Ini langkah awal. Masih panjang daftar influencer di platform vlog yang setipe dengan Atta, yang harus menjadi target selanjutnya. Mereka adalah antitesis pendidikan karakter. Penghambat, penggagal, hama; bagi pendidikan karakter.
Hukum tidak bisa melarang orang menjual kebodohan. Caveat emptor: Salah beli, salah sendiri. Yang berpeluang mampu memberantas hama ini, adalah sekolah. Dari sekolah kita bisa memerangi dan memberantas hama yang merugikan perkembangan anak didik. (*)
*) Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Jayapura.




