Oleh Sabrina Rara
Di tengah usaha pemerintah untuk menyejahterakan masyarakatnya dengan memberikan bantuan sosial (bansos) –yang seharusnya menjadi penolong kehidupan rakyat kelas bawah–, yang kerap terjadi justru sering salah sasaran. Kelompok masyarakat yang mestinya berhak menerima bantuan, tak jarang dibikin kesal menunggu. Di sisi lain, sebagian kelompok yang secara ekonomi sebenarnya mapan, malah dapat bansos duluan.
Fakta paradoks tersebut (meski tidak bisa digeneralisasi), sempat terungkap ke publik, bahwa 46% penerima bansos tidak tepat sasaran, sehingga masyarakat yang mestinya tidak layak menerima justru mendapatkan bansos. Hal tersebut akibat adanya exclusion dan inclusion error.
Apa sih maksud dari exclusion dan inclusion error? Exclusion error adalah adalah kesalahan data, karena tak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya masuk ke dalam data. Sementara inclusion error memasukkan rumah tangga yang tak miskin ke dalam data.
Akibatnya, yang miskin tetap merasa lapar dan yang berkecukupan sibuk menghitung bantuan sebagai rezeki tambahan. Kisah–kisah menyedihkan dari sebagian warga miskin menambah deretan pilu tak berkesudahan. Mereka mengeluh tak pernah menerima bantuan bansos dari pemerintah.
Ternyata, bantuan tersebut dinikmati oleh beberapa bahkan ribuan orang yang masuk kategori berkecukupan, bahkan kaya. Inilah yang mengusik rasa keadilan di antara sesama masyarakat, karena sebagian di antara mereka diperlakukan tidak adil. Kaum fakir miskin dan anak terlantar yang mestinya dilindungi sebagaimana amanat UUD 1945, jadi terabaikan.
Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah seharusnya melakukan rehabilitasi sosial, memberikan jaminan sosial, pemberdayaan sosial, serta perlindungan sosial. Ini perlu sebagai perwujudan kewajiban negara dalam menjamin pemenuhan dan terlaksananya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.
Secara umum, tujuan diadakannya bansos adalah untuk meringankan beban masyarakat, terutama bagi mereka yang terdampak kondisi ekonomi. Namun mengapa tidak semua warga yang mestinya berhak sebagai penerima manfaat bantuan, tak mendapatkannya? Alasan klasiknya adalah data tidak tercantum dalam daftar, kriteria penerima tidak sesuai ketentuan, daerah yang tidak terjangkau, mungkin juga menyalahgunakan data, atau bisa juga tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan. Sebaliknya, mengapa kelompok masyarakat yang tergolong mampu cenderung bisa mendapatkan bantuan tersebut?
Bansos ada beberapa macam, salah satunya yaitu PKH (Program Keluarga Harapan) yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM), dengan catatan harus memenuhi kriteria tertentu untuk mendapatkan bantuan dari Kementrian Sosial (Kemensos) yang sudah tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar penyaluran bisa tepat sasaran. Pada tahun 2025 ini, penerima bansos juga memiliki kriteria yang jelas.
Ada tiga komponen yang menjadi indikator penerima bansos, yakni komponen kesehatan, komponen pendidikan, dan komponen kesejahteraan.
1. Komponen kesehatan, meliputi ibu hamil maksimal dua kali kehamilan dan anak usia dini dengan rentang umur 0-6 tahun yang belum bersekolah.
2. Komponen pendidikan, meliputi anak usia 6-21 tahun yang belum menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, maksimal tiga anak dalam satu keluarga dengan kategori siswa SD/MI sederajat, siswa SMP/MTs sederajat, dan SMA/MA sederajat.
3. Komponen kesejahteraan, meliputi seseorang yang berusia 60 tahun ke atas, seorang diri dalam satu KK (Kartu Keluarga) denga maksimal empat orang dalam satu keluarga.
Maka, pada 11 Februari 2025 Kementrian Sosial (Kemensos) memastikan program perlindungan sosial akan semakin efektif dengan menggunakan Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mencapai finalisasi. Dengan ini, data baru yang lebih akurat menampung masukan–masukan masyarakat untuk dijadikan bahan evaluasi.
Dengan demikian, potensi bansos yang salah sasaran bisa diminimalkan walaupun datanya masih bersifat dinamis. Karena itu, Kementrian Sosial (Kemensos) dan Badan Pusat Statistik (BPS) terus melalukan pemutakhiran setiap tiga bulan sekali untuk memastikan data agar tetap akurat. Dalam pelaksanaan verifikasi data juga perlu diadakan monitoring untuk meningkatkan akurasi dan transparasi. (*)
*) Sabrina Rara, Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
CATATAN: Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulisnya.







