Oleh Ratna Diyah Mustikawati
Ungkapan yang sering terucap di masyarakat “Ganti menteri ganti kurikulum.” “Perubahan kurikulum tidak berdampak, hasil pendidikan tetap.” Ganti kurikulum, yang paling repot adalah guru, dan lain sebagainya, itu ungkapan pernyataan yang senada. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, juga tidak benar semuanya.
Perubahan kurikulum memang harus dilakukan untuk penyesuaian kebutuhan dan perubahan zaman. Namun, walaupun sudah diterapkan perubahan kurikulum, skor PISA (Programme for International Student Assessment) negara Indonesia dibandingkan negara lainnya juga tidak ada perubahan yang berarti. Hal ini menjadi salah satu alasan yang mendasari diterapkannya kurikulum baru yaitu Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka fokus pada tiga aspek utama, yaitu pengembangan karakter, materi esensial, dan kompetensi siswa. Ketiga aspek tersebut sudah dikembangkan pada pendidikan negara-negara maju. Jika dapat diterapkan oleh guru-guru di Indonesia, maka akan mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainnya. Tentunya hal ini menjadi PR besar bagi para praktisi pendidikan, karena harus mampu merubah pola pembelajaran yang selama ini sudah mendarah daging agar sesuai dengan harapan Kurikulum Merdeka.
Seolah Bertemu Jalan Buntu.
Para guru selama ini telah mengajar sesuai apa yang mereka pahami. Seringkali mereka menganggap bahwa pembelajaran yang mereka lakukan adalah yang terbaik. Namun pada kenyataannya, yang dibelajarkan kepada siswa adalah pengetahuan saja.
Pengembangan kompetensi sikap (baca: karakter) dan keterampilan (terutama keterampilan berpikir) sering terabaikan. Ketika diminta untuk mengembangkan kompetensi siswa secara utuh, para guru menemui jalan buntu, karena teman-teman guru sejawatnya juga melakukan hal yang sama. Kemana mereka menemukan contoh yang diharapkan oleh kurikulum?
Banyak pelatihan telah dilakukan oleh pemerintah. Sekolah juga didorong untuk meningkatkan kompetensi guru melalui penerapan berbagai model pembelajaran dan pemantauannya melalui program supervisi oleh kepala sekolah. Sebagian dari tunjangan profesi yang diterima oleh guru, wajib digunakan untuk kegiatan pengembangan diri untuk mengikuti pelatihan tentang pembelajaran. Semua pihak telah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi hasil pendidikan tetap, tidak ada perubahan yang signifikan.
Pembelajaran yang dilakukan guru cenderung tidak ada perubahan. Muatan kurikulum yang menuntut penguatan kompetensi siswa secara utuh tidak tercapai. Hasil pembelajaran melenceng dari yang diharapkan. Dampak lebih besar, kualitas sumber daya manusia Indonesia tidak berkembang. Tentu hal ini sangat membahayakan bagi ketahanan bangsa Indonesia.
Berbagi Praktik Baik
Para guru perlu mendapatkan pelatihan dengan cara yang berbeda dari yang selama ini dilakukan. Mereka membutuhkan contoh yang dapat memberi gambaran lebih jelas tentang pembelajaran yang baik. Media sosial berbasis video dapat digunakan untuk saling berbagi tentang pembelajaran yang baik. Sayangnya contoh tersebut masih sangat jarang didapatkan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Budaya berbagi pengalaman mengajar yang baik belum terbangun. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Kurang percaya diri dengan pembelajaran yang dilakukannya, belum mengetahui manfaat berbagi pengalaman mengajar, adalah beberapa alasannya. Belum adanya fasilitasi untuk berbagi, mungkin juga menjadi penyebab.
Membagikan praktik baik pembelajaran, memberi dampak positif bagi peningkatan kompetensi guru yang bersangkutan. Guru tersebut akan berupaya untuk terus melakukan pembelajaran yang baik. Menjadi motivasi baginya untuk mencari pengetahuan agar kualitas pembelajarannya meningkat.
Bagi orang lain, praktik baik yang dibagikan menjadi inspirasi baginya untuk melaksanakan pembelajaran seperti yang dicontohkan. Mengetahui bahwa orang lain mampu membagikan praktik baik pembelajarannya, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mudah dilakukan. Maka sangat mungkin akan memicunya untuk juga melakukan pembelajaran yang baik kemudian membagikan praktik baiknya tersebut.
Dengan demikian, ketika budaya berbagi praktik baik telah terbangun, pikiran positif tentang pendidikan juga akan terbangun. Baik guru yang berbagi praktik baik, orang atau guru lain yang melihat, dan semua stakeholder pendidikan semua akan berpikir ke arah yang sama, yaitu tujuan pendidikan sebagai muatan kurikulum.
Membangun budaya berbagi praktik baik bukan hal yang mudah. Diperlukan sistem pendukung agar tersedia ruang untuk berbagi. Platform Merdeka Mengajar yang diluncurkan sebagai pendukung untuk implementasi Kurikulum Merdeka, menjadi sarana efektif untuk berbagi praktik baik sesama guru.(*)
*) Penulis adalah Kepala SMP Negeri 1 Sedati Sidoarjo







