(Sebuah Catatan Ringan Mengenang Kepergian Budayawan Prie G.S.)
Oleh DEWI MUSDALIFAH
SELAMA pandemi berlangsung hampir satu tahun, saya selalu sibuk menentramkan diri. Pembatasan aktivitas, informasi tumpang tindih, carut-marut politik, juga terpuruknya ekonomi riil hingga berdampak pada menipisnya uang belanja emak-emak, membuat kelelahan psikis.
Di saat itulah sebuah acara segar saya temukan. Sebenarnya acara ini sudah lama tersiar di chanel youtube, namun jarang tersentuh.
Humor Sufi, dikemas menarik. Dialog antara dua orang, Prie G.S. dan Candra Malik dengan menghadirkan narasumber kompeten di bidangnya.
Gojekan atau guyonan mereka amat cerdas dan ciamik. Di awal pembicaraan terkesan spontan dan ngawur. Namun, ending-nya justru mengarah pada kompetensi tamu yang diundang.
Yang tak kalah menyenangkan adalah kemampuan menertawakan diri sendiri dan kerendahhatian. Saling mengolok dengan mesra, membuat saya benar-benar “jatuh cinta”.
Sosok Prie G.S. sesungguhnya tidaklah asing. Dua bukunya terpajang di antara koleksi saya: “Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia” dan “Waras di Zaman Edan“. Ketajaman materi yang dia tulis dari hal ringan sehari-hari, mampu memberikan nuansa pemikiran mendalam.
Banyak hal tak terduga keluar dari alam pikirannya. Seperti sebuah ungkapan ‘Berlibur ke dalam diri’ ternyata memiliki makna yang luas dan mampu menjadi referensi bagi nara sumbernya saat itu.
Dari berbagai bahan obrolamnya seakan menguasai semua bidang, hingga membuat chanel youtube “kau bertanya, aku menjawab”.
Berbagai pertanyaan dijawab dengan ringan, tanpa beban. Mengalir dari berbagai pengalamannya yang kaya.
Tahun 1970 ia berjibaku menjadi kartunis di berbagai media massa. Meski melenceng dari jurusan Seni Musik di Fakultas Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Semarang yang ia geluti semasa kuliah, keandalan dalam goresan-goresan kartun yang lahir dari tangan dinginnya, tak terbantahkan. Ia juga terus belajar dari GM Sidarta, hingga berhasil pameran kartun di Tokyo, Jepang.
Sosok Prie G.S. bekerja sebagai wartawan di Harian Suara Merdeka dan juga berhasil menjadi salah seorang redaktur di majalah wanita Cempaka.
Beberapa buku yang saya ketahui lahir darinya di antaranya: Merenung Sampai Mati, Indonesia Jungkir Balik, Catatan Sang Penggoda Indonesia, Waras di Zaman Edan, Hidup ini Keras maka Gebuklah.
Tak hanya itu, ia juga menulis skenario drama di beberapa sanggar teater. Selain itu, ia juga menjadi ilustrasi musik di teater lingkar. Dan, terakhir menjadi nara sumber dialog di radio Smartfm dan Idolafm.
Lengkap kapasitas yang dia punyai. Namun, ia sangat menawan menyembunyikan kecerdasannya dengan celoteh tawaduk dan bahkan menjungkirbalikkan diri sendiri sampai posisi terbawah dengan gembira.
Ketika ada kesempatan saya membuka media sosial Facebook, hal yang pertama kali saya cari adalah update statusnya. Selalu tersungging senyuman setelah membaca statusnya. Ada kesegaran dan kesejukkan dari kata-katanya.
Meski saya tidak pernah memperkenalkan diri kepadanya, dan dia juga (pastilah) tidak mengenal saya, namun saya memosisikan dia sebagai seorang guru saya tercinta.
Setiap wejangan dan pola hidupnya otentik, hanya punya Prie G.S. Mendengar tawanya yang terkekeh dan pencitraan “cocot kencono“-nya sungguh membahagiakan.
Mengutip kata kata Candra Malik, sang partner di Humor Sufi, kian menambah rasa cinta dan takdzim saya kepadanya.
Di bawah rindang pohonan jati
Kau berteduh di pembaringan ini
Berangkat menuju Gusti Ilahi Rabbi
Pulang ke Pelukan Cinta Abadi
Sepiku ternyata cuma sebentar
Selebihnya ramai rindu gemetar
Lalu namamu berulang kudengar
Kisah-kisah kebaikanmu tersiar
Selamat jalan, Guru Bahagia. (*)
*) Penulis adalah pegiat literasi (sastra) dan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik.







