Oleh MOH. HUSEN
Tidak semua orang suka membaca tulisan berbentuk opini, yang cenderung disajikan secara akademis model kampus atau sekolah dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah ataupun populer. Tidak suka belum tentu sama dengan tidak paham atau tidak mengerti. Tidak suka itu bisa jadi sekadar persoalan pilihan metodologi yang berbeda saja.
Untuk itu, tulisan ini penulis beri judul Fenomena Pak Klik dan Bu Klik dalam Komunikasi Media Online. Tujuannya, agar lebih familiar, fleksibel, dan cair, terutama bagi para pembaca yang sudah suntuk dengan dunia kampus atau kesibukan lainnya. Cari utangan saja sudah sedemikian repotnya, apalagi ditambahi bertemu dengan istilah-istilah asing yang aneh-aneh.
Beberapa hari ini, perbincangan di WhatsApp Group yang penulis ikuti sedang menghangat di seputaran tulis-menulis. Perbincangan tersebut di antaranya terkait penulisan kosa kata yang sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), dan sejenisnya.
Harus diakui, untuk pilihan ejaan kata, jika harus sesuai kaidah KBBI dan PUEBI, maka akan menemukan problem dilematis dengan kebiasaan pengguna internet dalam memasukkan kata yang dicari pada mesin pencari alias Mbah Google atau Mbah Crome.
Misalnya, untuk salah salah satu ibadah umat Muslim, meskipun penulisan menurut KBBI dan PUEBI yang benar itu ‘salat‘, tapi masyarakat lebih banyak menulis dengan ‘sholat’ atau ‘shalat’ pada mesin pencari. Akibatnya, tulisan yang naik dan memungkinkan dibaca orang adalah website yang menulis menggunakan kata ‘sholat’ atau ‘shalat’.
Dalam hal ini, nasib sebuah website benar-benar berada di tangan “Pak Klik” dan “Bu Klik”. Mereka lebih sering mencari sebuah konten dengan kata-kata yang mudah mereka ingat menurut versi mereka sendiri, dan bukan menurut kaidah KBBI ataupun PUEBI, yang menurut penulis sebenarnya juga relatif kebenarannya.
Penulis sendiri lebih suka menulis kata dzikir daripada zikir. Ketika mau menerbitkan buku, penulis mending memilih penerbit yang membolehkan menulis dzikir ketimbang zikir. Meskipun juga tidak menolak dengan penulisan kata ‘zikir’, namun dalam pelafalannya tetap ‘dzikir’. Sebagaimana tertulis pada diksi ‘i love you’ yang pelafalannya ‘ai lov yu’.
Nah, karena “nasib”-nya kini berada di tangan “Pak Klik” dan “Bu Klik”, maka sebuah website harus menyiapkan berbagai macam kolom yang memungkinkan untuk di-klik oleh “Pak Klik” dan “Bu Klik”.
Kalau perlu, siapkan juga kolom “Tambal Ban” atau “Perbengkelan”. Sebab, semakin hari orang lebih sering bertanya ke Mbah Google ketimbang bersilaturahmi tanya-tanya kepada temannya.
Dengan melihat fenomena betapa tingginya “Pak Klik” dan “Bu Klik” ini mengandalkan kecanggihan internet dalam mencari informasi apa saja, bahkan pidato tokoh kelas dunia juga tinggal klik saja, tidak menutup kemungkinan kelak ada sebuah desa yang akan akan menjadi “negara” sendiri. Sebab, orang tak perlu lagi ke mana-mana untuk mendapatkan yang dicari. Tinggal klik saja segalanya bisa sampai di depan mata. (*)
Banyuwangi, 5 Juni 2022
* Penulis adalah Jurnalis RadarJatim.id, tinggal di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur.







