LUMAJANG (Radar Jatim.id) — Seringnya terjadi erupsi Gunung Semeru, memunculkan fenomena baru: wisata erupsi. Ratusan pengunjung dari berbagai penjuru, terutama Jawa Timur, berdatangan.
Mereka ada yang berasal dari relawan yang ingin menjalankan misi sosialnya, membantu korban. Tetapi, tak jarang yang datang hanya ingin melihat-lihat kerusakan akibat bencana. Bahkan ada pula yang sibuk selfie-selfie untuk kepentingan produksi konten.
Terepas dari beragam kepentingan tersebut, yang jelas erupsi Semeru menjadi daya tarik luar biasa bagi orang di luar kawasan Semeru. Saking banyaknya pengunjung, para pihak, misalnya perangkat desa, petugas Dinas Perhubungan (Dishub), polisi lalu lintas (Polantas), juga relawan dibikin sipersibuk untuk mengatur mereka.
Erupsi Semeru tiba-tiba menjilma menjadi wisata baru, yaikni wisata erupsi. Para pengunjung datang dari berbagai daerah untuk mengetahui tingkat kerusakan alam yang terjadi, termasuk “kemolekan” yang menantang pandangan mata.
Ada yang nekat mencari objek terbaik, terdekat, paling seru, paling parah, dan seterusnya. Ironisnya, kenekatan itu kerap tak mempertimbangkan risiko dan ancaman terhadap keselamatan jiwanya. Dua orang dilaporkan menjadi korban dengan kondisi badan melepuh saat mengambil foto atau video di lokasi dekat dengan lava yang mengalir di bawah jembatan Curah Kobokan.
Asap tebal yang berhembus dan mengalir dikira asap biasa. Padahal, itu asap awan yang benar-benar panas. Akhirnya, keinginan mengabadikan panorama alam itu menyebabkan yang bersangkutan menjadi korban.
Jalan Buka Tutup
Ketika terjadi erupsi Semeru lahar panas atau lahar dingin alirannya melewati Curah Kobokan. Di situ ada jembatan satu-satunya yang menghubungkan wilayah Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di bawah jembatan itu mengalir awan panas. Itu justru menjadi daya tarik tersendiri. Meski dilarang banyak warga mengambil gambar untuk diabadikan. Sampai-sampai jembatan Geladak Perak/Curah Kobokan macet. Arus lalu lintas padat merayap.
Oleh petugas arus lalu lintas diatur buka-tutup agar tidak terjebak kemacetan. Selain itu, teknik buka-tutup dilakukan untuk mencegah bahaya akibat tanah longsor, asap awan panas, dan ancaman lainnya.
Salah satu persoalan yang sering terjadi di jalur Piket Nol adalah tebing longsor, pohon tumbang, dan batu besar jatuh menimpa siapa saja di jalan. Beberapa kali terjadi musibah, batu jatuh dari tebing menimpa orang lewat dan kendaraan yang tengah melintas. Korban jiwa tidak bisa dihindari.
Untuk meminimalkan terjadinya musibah, berbagai upaya dilakukan pemerintah. Di antaranya, menebang pohon dan menjatuhkan batu di atas tebing, membuat tembok pengaman, membangun pancang beton, memasang gronjong kawat, dan melebarkan jalan. Meski demikian musibah selalu ada. Terutama saat hujan, sering terjadi tanah longsor.
Saat erupsi terjadi, jembatan Geladak Perak yang semula dicat warna-warni berubah menjadi kusam karena tertutup debu. Jembatan pun terlihat tidak indah lagi.
Saking tebalnya debu yang menghembus di kawasan ini, jalan pun menjadi licin, khususnya kalau terjadi hujan. Debu berubah menjadi lumpur yang membahayakan.
Maka aparat kepolisian dan Dinas perhubungan selalu “ngepel” atau menyirami jalan dengan air menggunakan truk, sehingga jalan bersih. Dan, debu tidak lagi mengganggu warga yang lewat di jalan tersebut. (Suharyo)




