Oleh DEWI MUSDALIFAH
Saya teringat beberapa tahun silam, ketika diundang menghadiri perhelatan pameran produk mahasiswa di sebuah kampus enterpreneur terkemuka di Surabaya.
Berbagai macam hasil karya mahasiswa digelar. Semuanya terlihat menarik. Ada sebagian di antaranya yang memang terasa menonjol, sehingga menyedot perhatian pengunjung yang begitu meluber.
Setelah menikmati pajangan aneka produk di ruang pamer, manajemen kampus itu mengajar kami menghadiri acara perayaan karya. Sebuah ruang mirip gedung teater dipilih sebagai tempat penyelenggaraan acara ini.
Satu per satu acara berlangsung dan tibalah pada sesi apresiasi produk mahasiswa. Saya membayangkan, yang terpilih adalah produk yang menghasilkan omzet di atas rata rata. Dan, benar ada tiga produk dengan perolehan nilai tertinggi mendapat apresiasi.
Yang membuat saya kaget, rentetan apresiasi selanjutnya diberikan kepada produk yang bersifat pencerminan karakter, perjuangan, keperdulian sosial, dan bahkan kegagalan. Salah satu contohnya adalah produk sosial: donasi untuk bibir sumbing dengan penjualan korek api.
Mahasiswa pencipta produk itu mendapat apresiasi, karena ada salah satu klien yang berniat membelinya dengan syarat harus datang ke kantor klien tersebut, yang jaraknya cukup jauh.
Setelah menempuh perjalanan menuju kantor klien, masih diminta menunggu selama tiga jam. Setelah itu, barulah terjadi kesepakatan transaksi. Tahu berepa nilai transaksi yang disepakati? Ya, ini sungguh di luar prediksi dan ekspektasi pada umumnya. Klien tersebut membeli korek api produk mahasiswa itu hanya 1 biji dengan harga Rp 10 ribu. Ya, cuma Rp 10 ribu.
Tanpa mengeluh, mahasiswa ini tersenyum dan menyambut gembira capaian transaksi itu. Usut punya usut, ternyata klien itu kenal dengan salah seorang dosen pada universitas di mana mahasiswa penyabar menempuh kuliah dan menceritakan peristiwa itu.
Produk mahasiswa itu memang tidak banyak terjual. Namun, sikap pantang menyerah dan menghargai komitmenlah yang pantas mendapat apresiasi. Komitmen yang dimaksud adalah mau mendatangi kantor klien yang cukup jauh, lalu menunggu berjam-jam, padahal deal transaksinya cuma Rp 10 ribu.
Masih banyak lagi apresiasi yang diberikan kepada mahasiswa penghasil produk korek api ini, yang membuat saya berpikir, betapa pembentukan karakter yang kuat sangat dihargai dikampus ini.
Acara pun ditutup dengan persembahan dari semua guru atau dosen pembimbing yang naik ke atas panggung. Mereka membacakan puisi satu per satu, ditujukan kepada mahasiswa yang masih belum berhasil dalam produk sesuai harapan.
Puisi-puisi motivasi dari masing masing guru itu sangat menyentuh, hingga audiens seisi ruang acara itu tak kuasa menahan air mata yang mengalir dari sudut mata mereka.
Persembahan lalu ditutup dengan menyanyikan lagu secara bersama-sama. Lagu yang dipilih adalah debutan R. Kelly berjudul “I Believe I Can Fly“. Seluruh isi ruang seakan bergetar. Seluruh beban dan harapan sepertinya keluar dan mengangkasa.
Dalam suasana yang menguras suasana batin, tiba-tiba disusul naiknya seluruh mahasiswa ke atas panggung dan memeluk guru pendampingnya, satu per satu. Maka, tersajilah sebuah momentum terpadunya kasih sayang yang indah antara guru dan murid. Melepas seluruh rasa dalam perjalanan mewujudkan karya terbaik mereka.
Setelah acara tersebut, pertanyaan hadir dalam pikiran dan sempat saya lontarkan pada pengelola kampus itu: apa kreteria dalam merekrut seorang guru di kampus ini?
Saya memperkirakan, jawabannya seputar kompetensi akademik, metode pengajaran, dan seabrek persyaratan normatif mengajar lainnya. Benarkah?
Tapi ternyata jawabannya di luar prediksi saya. Yang pertama, baik hati.
Mereka dipilih karena lolos dalam tes yang dirancang untuk mengetahui kebaikan hatinya. Sebab, menurut manajemen kampus ini, kebaikan hati sangat penting dan menjadi dasar dalam membentuk karakter mahasiswa.
Kreteria kedua, kesanggupan membimbing mahasiswa. Cara berkomunikasi, memberikan stimulus, juga bagaimana mengapresiasi, menjadi syarat mutlak.
Yang ketiga, kemampuan menjadi problem solving bagi permasalahan yang dialami mahasiswa. Permasalahan itu terutama dalam hal mewujudkan produk menjadi karya terbaik. Dari sisi ini, kompetensi yang dituntut adalah pengalaman, kecerdasan, keluasan pengetahuan, dan lain sebagainya.
Selintas semua syarat itu terbayang pada sosok yang saya anggap guru. Bayangan saya kemudian menghadirkan sosok lelaki sederhana yang ketika saya kenal, sudah cukup berumur. Beliau mengajar mata pelajaran non-akademik, namun pengetahuan akademiknya tak kalah unggul.
Semua syarat yang ditentukan oleh universitas itu terpenuhi dalam pribadinya. Kebaikan hati, bimbingan, dan kemampuan memberikan solusi atas masalah yang terjadi itulah yang menjadikan saya memiliki landasan hidup sampai sekarang.
Bahkan, kesan itu terpatri begitu kuat pada diri saya, sekalipun beliau telah tiada. Pengaruhnya tak terbatas, menembus ruang dan waktu dan terus mengaliri jiwa murid-muridnya sampai kapan pun.
Hal hal inilah yang seharusnya selalu ada dalam diri seorang guru, karena di zaman now, pengetahuan ilmu mata pelajaran dapat digantikan perannya oleh perangkat digital. Dan, itu bisa diakses dengan sangat mudah.
Jika orientasi yang terpatri adalah sebagaimana ditetapkan manajemen kampus enterpreneur yang menghasilkan lulusan berkomitmen dan integritas tinggi, maka peran guru menjadi abadi dan tak bakal tergantikan oleh kecanggihan perangkat apa pun. Selamat Hari Guru. (*)
*) Penulis adalah pegiat pustaka dan sastra, tinggal di Gresik, Jawa Timur





