GRESIK (RadarJatim.id) – Dihelat secara sederhana namun penuh kemeriahan, perayan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-44 Paguyuban Warga Ponorogo (Pawargo) Gresik berlangsung di Perum GKGA Kedanyang, Kebomas, Gresik, Jawa Timur, Minggu (27/7/2025). Prosesi yang dikemas dalam arisan bergilir itu juga menggelar kesenian tradisional khas Ponorogo, yakni reog yang menampilkan perform tiga grup sekaligus.
Prosesi HUT Pawargo Gresik yang berdiri sejak 1981, tahun ini dipusatkan di Perum GKGA, di rumah salah satu anggotanya, yakni pasangan suami-sitri (pasutri): Ngatomo-Nuryati ini, ditandai dengan potong tumpeng lalu makan bersama sekitar 100 anggota Pawargo yag hadir. Selain dari Gresik, beberapa undangan Pawargo Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan juga hadir.
“Kami sekeluarga merasa bersyukur ketempatan berkumpulnya warga Ponorogo yang tersebar di berbagai daerah di Gresik. Selain silaturahmi, acara ini juga nguri-nguri budaya lokal, yaitu Reog Ponorogo biar tetap lestari,” ujar tuan rumah, Kang Tomo didampingi istri tercintanya yang asli Ponorogo, di sela acara.
Menurut Anas, Sekretaris Pawargo Gresik, HUT Pawargo kali ini diperingati secara sederhana namun penuh khidmat dan suasana gembira. Sebagai pelengkap, kata Anas, panitia menghadirkan tiga grup sekaligus untuk menghibur masyarakat di Perumahan GKGA, tepatnya di RT 01 – RW 07, lokasi rumah pasutri Tomo-Nuryati.
Ketiga grup Reog Ponorogo yang ditampilkan itu adalah Pawargo Gresik, Singo Mudo Magrego Giri Asri, dan Giriyama Bolo Reog Randuagung, Kecamatan Kebomas, Gresik. Pergelaran Reog Ponorogo itu mengundang perhtian ratusan warga perumahan GKGA untuk menyaksikan. Mereka berkumpul sambil berdiri di pinggiran jalan, dekat lokasi pergelaran.
Tak hanya itu, warga luar perumahan yang kebetulan melintas, banyak juga yang berhenti untuk menyaksikan atrksi para para pembarong yang dengan atraktif memainkan tarian khas Reog Ponorogo. Sesekali pembarong juga menyuguhkan aksi berguling-guling, meliuk-liuk di permukaan tanah yang membuat decak kagum penonton.
Suroso (72), sesepuh Pawargo Gresik yang telah membersamai peguyupan puluhan tahun menuturkan, dalam perjalanannya, Pawargo sempat mengalami masa pasang-surut. Maklum, sambungnya, anggota Pawargo umumnya bekerja di perusahaan-perusahaan, sehingga waktu untuk berkumpul tidak selalu bisa dilakukan secara ajeg.
“Namun, berkat kesabaran, ketelatenan yang dibarengi dengan semangat persaudaraan yang kuat, kami dan teman-teman Pawargo bisa tetap eksis. Karera itu, untuk merekatkan silaturahmi, kami adakan arisan bergilir di rumah-rumah warga Pawargo secara bergantian,” ungkap Suroso seraya menambahkan, pertemuan dalam jumlah lebih besar biasanya terjadi saat halal bihalal selepas lebaran.
Sesepuh Pawargo lainnya, Sumadi, mengatakan, tantangan menjaga keutuhan paguyuban, termasuk melestarikan produk budayanya, yakni reog, adalah melakukan regenerasi. Hal ini diakui, karena di zaman serba modern dan digital saat ini, banyak anak muda yang tidak tertarik pada kesenian atau budaya tradisional, termasuk Reog Ponorogo.
“Karena itu, untuk membangkitkan kecintaan anak-anak, khususnya yang masih usia sekolah, kami bekerja sama dengan berbagai sekolah untuk membuka ekstrakurikuler kesenian reog. Sementara untuk rutinitas latihan, kami menggandeng sangar seni yang secara khusus intens mengaga dan menghidupkan seni Reog Ponorogo ini,” ujar Sumadi.
Dikatakan, dalam satu grup reog, paling tidak dibutuhkan minimal 25 orang. Jumlah itu terdiri atas para penabuh (pemain) musik tradisionalnya, penari, juga pembarong (pengusung dan penari merak dadak). Bahkan, untuk keperluan festival, biasanya jumlahnya bisa lebih banyak lagi, sesuai kebutuhan.
“Kami terus berupaya untuk terus melestarikan budaya lokal Reog Ponorogo ini di Gresik. Karena itu, pertemuan rutin terus kami lakukan, seperti arisan anggota, juga terus menyampaikan kepada anak-anak muda agar tidak meninggalkan seni dan budaya yang secara turun-temurun diwariskan oleh sesepuh terdahulu,” pungkas Sumadi. (har)







