Oleh M. ISA ANSORI
Mengikuti pengarahan kepala sekolah dan guru di sebuah SMPN di Surabaya, pekan lalu, saya sungguh tercenung. Hal ini karena perubahan kurikulum yang dicanangkan Mendikbud sejak 2013 ternyata tak mampu mengubah pendekatan guru dalam menjalankan proses dan tujuan belajar.
Sebagaimana diketahui, dalam kurikulum 2013 dan kurikulum 2021 yang akan menjadi penegas model “Merdeka Belajar”, disepakati, bahwa setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda dan gaya belajar yang berbeda. Karena itu, tidak bisa disamakan antara siswa satu dengan lainnya.
Mereka memiliki keunikan masing masing. Namun, sayangnya para guru belum mampu menjalankannya, sehingga masih selalu terdengar istilah KKM (kriteria ketuntasan minimal) dalam proses pembelajaran. Jika siswa tak memenuhi KKM, akan dilakukan remidi. Dan, jika setelah remidi tetap saja tidak memenuhi KKM, dipastikan siswa akan tinggal kelas.
Kasian Mendikbud yang saat itu dijabat Pak M. Nuh, yang menghabiskan dana trilyunan rupiah untuk melatih guru, lalu dilanjutkan oleh penggantinya Anies Baswedan, lalu Muhajir Effendi, tapi sampai saat ini masih belum terjadi perubahan signifikan.
Rupanya sang menteri baru Nadiem Makarim yang akrab disapa Mas Nadiem, harus sering-sering ke bawah, berkunjung ke sekolah untuk memastikan terlaksananya merdeka belajar yang lebih menghargai keragaman dan humanisme itu. Mas menteri tidak cukup mempercayakan obsesi mulianya kepada pihak sekolah tanpa melakukan pengawalan optimal.
Terlebih di masa pandemi virus corona (Covid-19) yang hingga kini belum berakhir, sejatinya tak elok jika sekolah mematok angka KKM secara ketat, sementara proses pembelajaran yang dilakukan tidak maksimal. Terdapat semacam ketimpangan antara proses pembelajaran yang “ala kadarnya” karena dalam suasana Covid-19 dengan kebijakan evaluasi yang berujung pada naik atau tinggal kelasnya siswa. Ini tidak fair.
Nampaknya problem pendidikan kita di masa pandemi ini terletak katidakmampuan guru dan kepala sekolah berempati kepada wali murid dan murid. Akibatnya, sekolah tak mampu memahami hakikat pembelajaran jarak jauh (PJJ) itu. Belajar dari rumah itu sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan sekolah dalam melakukan proses pembelajaran, bukan memindahkan sekolah ke rumah.
Karena banyak hal, khususnya keunikan dan perbedaan kondisi dan karakter siswa, perlu jadi pertimbangan dalam melakukan evaluasi, sehingga tak melulu berbasis pada tercapainya KKM atau tidak.
Nah ada baiknya kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya juga para kepala Disdik daerah lain (karena saya yakin hal ini juga banyak terjadi di luar Surabaya) untuk mengingatkan kembali kepala sekolah dan guru agar tidak terlalu memaksakan target kurikulum secara normatif. Situasi darurat harus diikuti tindakan darurat pula, baik itu target atau cara atau proses belajarnya.
Bukankah diberlakukannya target-target yang berat dan “kejam” itu berpotensi membuat siswa stres dan bisa menurunkan imune tubuh mereka? Kalau sudah demikian, pada gilirannya mereka juga berpotensi bisa terpapar Covid-19?
Tetapi, di balik itu semua, yang menyenangkan adalah sepercik semangat sebagian besar guru yang merindukan terlaksananya kembali pembelajaran tatap muka, bukan dalam jaringan (daring/online) seperti berlangsung hingga kini. Dan, itulah sesungguhnya jiwa guru sejati.Terima kasih kepada kawan-kawan guru. Semoga sehat selalu. (*)
*) Penulis adalah Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim dan anggota Dewan Pendidikan Jatim.







